Laman

Sabtu, 16 Agustus 2014

Wanita, hati ini milik siapa?



Cermin itu masih diam. Bayanganya merefleksikan sesosok wajah bergaun malam warna biru muda. Cahaya lampu yang menerangi tak membuat gambarannya tampak lebih jelas. Sudah sejak sma kedua matanya divonis minus sehingga fokus bayangan benda tak bisa ditangkap dengan sempurna. Beberapa lama wanita itu hanya terduduk diam menghadap cermin tanpa pasti apa yang dilihat. Yang pasti suara itu mengiang di telinganya beberapa waktu belakangan. Suara seseorang yang masih sama warna suaranya tapi jelas berbeda. Entah apa, tapi Jein tidak pernah berharap mendengarnya lagi.
“Aku tak bisa. Aku laki-laki, aku butuh seorang anak yang susah bagiku untuk mengusahakannya denganmu!”
Wanita itu tak berani memandang wajah lelaki yang merampas cita-citanya dengan dalih kebahagiaan, entah bahagia yang seperti apa. Mungkin kecelakaan itu, memang menewaskan cintanya bukan tubuhnya. Tapi itu justru lebih menyakitkan. Seakan seisi alam bersekutu menertawakannya.
“Jein!” Terdengar bunyi Derek pintu bersamaan dengan suara yang memanggil nama wanita muda di depan cermin
Wanita muda itu menoleh dengan kedua matanya yang disipitkan. Tak lama diraihnya kacamata di atas meja rias, hadiah pernikahan dari ibu mertuanya dulu. Dan merupakan tempat kesenangannya dulu terlebih jika angin malam menyentuh jiwa perempuannya.
“Ibu. Kenapa belum tidur?” Jein memandangi jam wecker yang sama terduduk di meja riasnya. Kali ini dia yakin jarum pendeknya sudah hampir menyentuh angka 12.
Wanita tua itu menggeleng. Kantong matanya yang kendur menggambarkan betapa masa memakan kekencangan kulitnya. Tapi lebih dari itu wanita tua itu tetap memiliki bekas aura kecantikan masa mudanya dulu. Yang paling menonjol nampak dari bulu matanya yang lentik. Jein kadang iri dengan semua yang dimiliki perempuan itu. Karena dia lebih menyerupai garis wajah ayahnya.
“Kamu yakin akan menerima keputusannya nduk? Ibu tidak pernah berharap begini jadinya. Tidak seorang ibu pun yang berani membayangkan ini terjadi pada anak-anaknya. Tidak ada sejarah perceraian dalam keluarga kita, sayang.” Dibelainya rambut Jein yang hitam mengombak sama dengan yang dimiliki almarhum suaminya.
Perempuan muda itu diam tapi wajahnya menunduk. Hanya nafasnya yang terdengar kembang-kempis. Tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah. Dia tahu, suaminya sudah membulatkan tekad.
“Bicarakan lagi dengan suamimu yah nduk. Bukan salahmu kalau wajahmu cacat. Dia sendiri tahu perihal kecelakaan itu, kan?”
Jein menggeleng lalu memandang orang tua semata wayangnya,
“Mas Gagah cuma laki-laki Bu. Dia tetap membutuhkan wanita idaman yang baik rupa dan peranakannya. Sedangkan saya? Kalau dulu mungkin semua kriteria itu masih bisa saya penuhi. Tapi sekarang?” Jeani kembali tertunduk lalu kembali berujar dengan suara yang lebih pelan, “Saya cuma mengikuti takdir Ilah Bu.”
Wanita tua itu menitikan air matanya. Terus membelai rambut berandan anak bungsunya. Masih membekas diingatannya dulu ketika Gagah sampai menekuk lutut di depannya demi mendapat restu menikahi Jein. Kedua kakak lelaki Jein sempat menentang karena Jein belum lulus kuliah dan lagi itu berarti Jein melangkahi kedua kakaknya yang masih membujang. Tapi pancaran kesungguhan wajah lelaki muda itu yang membuat ia dan kedua anak lanangnya akhirnya luluh jua. Semua menyangka mereka akan menjadi pasangan yang bahagia.
Awal-awal Tahun semua lancar. Jein dan Gagah hampir setiap bulan berkunjung karena jarak tempat mereka hampir menghabiskan empat jam perjalanan. Tetapi memasuki tahun kedua, keduanya justru tidak pernah muncul bahkan seolah menghilang. Dan bagai tersambar petir di siang bolong, surat Jein datang dan mengabarkan hal kecelakaan yang merenggut wajah cantiknya. Lebih memilukan hati wanita tua itu karena kalimat dalam tulisan suratnya yang memberitakan konflik rumah tangganya hingga sampai pada meja pengadilan agama.
Wajah cantik dan mulus itu memang telah berganti. Pedih tak terkira rasanya sampai ibu Ratih hampir tak yakin wajah itu yang dulu pernah dibesarkannya. Tapi nalurinya masih berseru, memanggil nama anaknya dengan menjerit iba. Rumah Jein terlalu sunyi. Kini tak terdengar suara Gagah yang biasanya memecah kesepian dengan tawanya yang khas.
“Sabar nduk.” Bu ratih seperti kehabisan kata-kata bijak.
“Kenapa yah bu, wajah sering kali menjadi barometer cinta bagi laki-laki?” Jeani merebahkan kepalanya pada bahu Bu Ratih yang masih saja mengelus mahkota Jein.
“Tidak, Jein. Jangan hatimu menghujat laki-laki hanya karena satu laki-laki yang menyalahi hati perempuan. Karena dunia tidak sebatas mata memandang. Ibu ikhlas kalau akhirnya kalian bercerai, kelak Dia akan membalas kepahitan yang kamu teguk di bumiNya.”
“Terima kasih Bu. Kata-kata ibu membuatku selalu merasa menjadi wanita.” Jein tersenyum diantara lelehan air matanya.
Cermin itu membisu menampilkan gambar dua potret perempuan yang bersusah hati. Sementara di luar sana mata langit deras membasahi wajah sedih bumi pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar