Cermin
itu masih diam. Bayanganya merefleksikan sesosok wajah bergaun malam warna biru
muda. Cahaya lampu yang menerangi tak membuat gambarannya tampak lebih jelas.
Sudah sejak sma kedua matanya divonis minus sehingga fokus bayangan benda tak
bisa ditangkap dengan sempurna. Beberapa lama wanita itu hanya terduduk diam
menghadap cermin tanpa pasti apa yang dilihat. Yang pasti suara itu mengiang di
telinganya beberapa waktu belakangan. Suara seseorang yang masih sama warna
suaranya tapi jelas berbeda. Entah apa, tapi Jein tidak pernah berharap
mendengarnya lagi.
“Aku
tak bisa. Aku laki-laki, aku butuh seorang anak yang susah bagiku untuk
mengusahakannya denganmu!”
Wanita
itu tak berani memandang wajah lelaki yang merampas cita-citanya dengan dalih
kebahagiaan, entah bahagia yang seperti apa. Mungkin kecelakaan itu, memang
menewaskan cintanya bukan tubuhnya. Tapi itu justru lebih menyakitkan. Seakan
seisi alam bersekutu menertawakannya.
“Jein!”
Terdengar bunyi Derek pintu bersamaan dengan suara yang memanggil nama wanita
muda di depan cermin
Wanita
muda itu menoleh dengan kedua matanya yang disipitkan. Tak lama diraihnya
kacamata di atas meja rias, hadiah pernikahan dari ibu mertuanya dulu. Dan
merupakan tempat kesenangannya dulu terlebih jika angin malam menyentuh jiwa
perempuannya.
“Ibu.
Kenapa belum tidur?” Jein memandangi jam wecker yang sama terduduk di meja riasnya.
Kali ini dia yakin jarum pendeknya sudah hampir menyentuh angka 12.
Wanita
tua itu menggeleng. Kantong matanya yang kendur menggambarkan betapa masa
memakan kekencangan kulitnya. Tapi lebih dari itu wanita tua itu tetap memiliki
bekas aura kecantikan masa mudanya dulu. Yang paling menonjol nampak dari bulu
matanya yang lentik. Jein kadang iri dengan semua yang dimiliki perempuan itu.
Karena dia lebih menyerupai garis wajah ayahnya.
“Kamu
yakin akan menerima keputusannya nduk?
Ibu tidak pernah berharap begini jadinya. Tidak seorang ibu pun yang berani
membayangkan ini terjadi pada anak-anaknya. Tidak ada sejarah perceraian dalam
keluarga kita, sayang.” Dibelainya rambut Jein yang hitam mengombak sama dengan
yang dimiliki almarhum suaminya.
Perempuan
muda itu diam tapi wajahnya menunduk. Hanya nafasnya yang terdengar
kembang-kempis. Tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah. Dia tahu,
suaminya sudah membulatkan tekad.
“Bicarakan
lagi dengan suamimu yah nduk. Bukan
salahmu kalau wajahmu cacat. Dia sendiri tahu perihal kecelakaan itu, kan?”
Jein
menggeleng lalu memandang orang tua semata wayangnya,
“Mas
Gagah cuma laki-laki Bu. Dia tetap membutuhkan wanita idaman yang baik rupa dan
peranakannya. Sedangkan saya? Kalau dulu mungkin semua kriteria itu masih bisa
saya penuhi. Tapi sekarang?” Jeani kembali tertunduk lalu kembali berujar
dengan suara yang lebih pelan, “Saya cuma mengikuti takdir Ilah Bu.”
Wanita
tua itu menitikan air matanya. Terus membelai rambut berandan anak bungsunya.
Masih membekas diingatannya dulu ketika Gagah sampai menekuk lutut di depannya
demi mendapat restu menikahi Jein. Kedua kakak lelaki Jein sempat menentang
karena Jein belum lulus kuliah dan lagi itu berarti Jein melangkahi kedua
kakaknya yang masih membujang. Tapi pancaran kesungguhan wajah lelaki muda itu
yang membuat ia dan kedua anak lanangnya
akhirnya luluh jua. Semua menyangka mereka akan menjadi pasangan yang bahagia.
Awal-awal
Tahun semua lancar. Jein dan Gagah hampir setiap bulan berkunjung karena jarak tempat
mereka hampir menghabiskan empat jam perjalanan. Tetapi memasuki tahun kedua,
keduanya justru tidak pernah muncul bahkan seolah menghilang. Dan bagai
tersambar petir di siang bolong, surat Jein datang dan mengabarkan hal
kecelakaan yang merenggut wajah cantiknya. Lebih memilukan hati wanita tua itu
karena kalimat dalam tulisan suratnya yang memberitakan konflik rumah tangganya
hingga sampai pada meja pengadilan agama.
Wajah
cantik dan mulus itu memang telah berganti. Pedih tak terkira rasanya sampai
ibu Ratih hampir tak yakin wajah itu yang dulu pernah dibesarkannya. Tapi
nalurinya masih berseru, memanggil nama anaknya dengan menjerit iba. Rumah Jein
terlalu sunyi. Kini tak terdengar suara Gagah yang biasanya memecah kesepian
dengan tawanya yang khas.
“Sabar
nduk.” Bu ratih seperti kehabisan
kata-kata bijak.
“Kenapa
yah bu, wajah sering kali menjadi barometer cinta bagi laki-laki?” Jeani
merebahkan kepalanya pada bahu Bu Ratih yang masih saja mengelus mahkota Jein.
“Tidak,
Jein. Jangan hatimu menghujat laki-laki hanya karena satu laki-laki yang
menyalahi hati perempuan. Karena dunia tidak sebatas mata memandang. Ibu ikhlas
kalau akhirnya kalian bercerai, kelak Dia akan membalas kepahitan yang kamu
teguk di bumiNya.”
“Terima
kasih Bu. Kata-kata ibu membuatku selalu merasa menjadi wanita.” Jein tersenyum
diantara lelehan air matanya.
Cermin itu membisu menampilkan gambar dua potret
perempuan yang bersusah hati. Sementara di luar sana mata langit deras
membasahi wajah sedih bumi pertiwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar