Pukul
12 siang. Seorang pemuda berkulit putih menghela nafasnya. Sudah hampir
setengah jam yang lalu dia menempatkan dirinya berdiam menunggu kereta api
jurusan yogyakarta.
“Jakarta
hmm udaranya sangat panas yah.” Katanya pada sesosok wanita yang turut duduk
tepat disampingnya.
Wanita
berusia kira-kira 22 tahunan itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
“Saya
menunggu kereta saya.” Katanya lagi. Tapi sekali lagi pula wanita itu hanya
mengangguk dan tersenyum tipis.
Pemuda
itu mengamati sejenak wanita bersanggul itu. Dalam hatinya muncul berbagai
pertanyaan mengapa wanita itu tak menggubrisnya. Padahal dia hanya ingin
mengajaknya berbincang sekedar menghilangkan kejenuhan yang dirasa. Atau
mungkin saja wanita itu bisu. Bukan hal yang tidak mungkin bukan?
Wanita itu tampak sudah mulai lelah. Terlihat
rembesan keringat yang mengguyur pelan muncul ke permukaan tubuhnya. Pemuda
berkulit putih tinggi itu lalu teringat sesuatu lantas mengeluarkannya. Sebotol
air minum dan sekaleng kecil biskuit. Disodorkannya kepada si wanita.
“Tidak,
terima kasih.” Kata wanita itu akhirnya bersuara.
“Kamu
hmm sepertinya kelelahan yah.”
Wanita
itu diam dan sekarang mulai mengeluarkan tissue dari tas kecil yang dibawanya.
Tampak sekali kekakuan diantara keduanya.
“Kenapa
keretanya datang sangat lama sekali. Padahal saya sudah lama menunggu.” Kata
pria bule itu sedikit kesal.
Wanita
itu memandang ke arahnya.
“Sabar
saja bang nanti juga pasti datang.”
“Bang?
Apa itu?”
“Maksud
saya hmm apa yah bahasa inggrisnya?”
“Apa
kamu kata saya tidak begitu mengerti.”
“Bang
itu nama sebutan untuk saudara laki-laki.”
“Oh...
maaf saya memang belum begitu ahli hmm apa hmm ngomong bahasa Indonesia. Tapi
saya sudah dua tahun belajar. Jadi saya sudah cukup bisa yah sedikit.”
“Wah,
itu namanya bukan sedikit toh. Orang sudah lancar begitu. Saya saja salut loh.”
Puji wanita itu.
“Terima
kasih”, Pemuda itu mengembangkan senyumnya, “Tapi ngomong-ngomong toh apa itu?”
Wanita
itu sejenak terdiam untuk berfikir. Mencoba memberikan jawaban terbaik.
“Toh
adalah semacam partikel khas daerah yogyakarta. Dan itu tidak ada artinya.
Paham mister?”
Kening
bule itu mengernyit, “Seperti di Jakarta orang sebut, dong?”
Gadis
itu mengangguk sembari meringis. Hatinya geli mendengar setiap percakapan si
bule. Tapi dia tetap mempertahankan citra kesopanan sehingga tak sampai
terbahak.
“Oh...
yah yah saya paham sekarang. Indonesia memang kaya sekali seperti istilah dong
lalu orang yogya sebut apa?”
“Toh.”
Wanita itu mengingatkan.
“Yah,
toh. Hmm saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda. Jadi saya bisa menambah
pengetahuan saya tentang bahasa Indonesia. Mungkin kapan-kapan kita bisa
berjumpa lagi dan bisa belajar lagi juga.”
Wanita
itu mengangguk. Batinnya masih menyimpan kekaguman pada pria bule yang begitu
semangatnya ingin mengenal Indonesia.
“Anda
ini mau kemana?” Akhirnya wanita itu menuturkan pertanyaan yang sedari tadi
dipendamnya.
“Saya
mau ke Yogyakarta untuk belajar.”
“Yogyanya
mana?”
“Hmm
Sleman. Saya mau ke sanggar budaya di sana.”
“Sanggar
budaya Sleman?” Tanya wanita itu dengan ekspresi sedikit kaget.
“Iya
memangnya kenapa?”
“Apa
Anda itu Mister Paul?”
Pemuda
itu mengangguk tapi juga heran.
“Anda
mengenal saya?”
“Begini,
saya ini anak pemilik sanggar budaya di sana. Saya sudah tahu kalau mister Paul
akan datang. Tapi nggak menyangka dipertemukan lebih dulu disini.”
“Oh,
begitu. Paul Schweger.” Kata Paul sembari memberikan tangannya ramah.
“Lintang.”
Wanita itu menyalaminya dengan ramah pula.
“Saya
sungguh tidak menyangka loh. Ternyata kita ini searah tujuan tapi kok ya podo ora ngerti. Hmm walah-walah tidak
disangka yah?” Kata Lintang telihat sumringah.
Si
bule yang sejujurnya tidak mengerti bahasa jawa yang diucapkan Lintang memilih
mengangguk saja. Memang begitulah Lintang kadang suka asal ceplos kalau sudah
merasa kenal. Tapi kadang bikin ilfeel juga SKSDnya.
Tuuuuuut
tuuuut........
Tak
lama kereta yang mereka tunggu datang. Keduanya bersiap berdiri menggenggam
barang bawaan masing-masing. Si Bule dan Lintang duduk berjajar. Tapi tak berapa
lama, si bule mempersilakan wanita setengah baya untuk menempati tempatnya.
Lintang hanya tersenyum melihat keramahannya.
“Hmm kapan yah pemuda Indonesia seperti itu?”
Lintang membatin.
Sesampainya
di sanggar budaya Sleman, Lintang lantas memanggil Ratih untuk mengantar Paul
ke kamar tamu. Sementara dia sendiri segera menuju ruang belakang tempat
membuat batik tulis.
“Ibu
dimana yah mbak Ami?”
Ami
yang sedari tadi sibuk dengan batik tulisnya sempat lola (Loading lambat)
mendengar pertanyaan Lintang.
“Oh
yah, Ibu tadi bilang katanya mau pergi ke Bantul. Eh, bagaimana acara sarasehan
budaya di Jakarta kemarin?”
Lintang
mengacungkan dua jempolnya. Ami pun langsung mengangguk.
Sekitar
pukul 5 sore, ketika Lintang dan Paul sedang asyik beerbincang tentang bahasa
Jawa Yogyakarta, datang sesosok wanita yang lebih akrab dipanggil Nyai Asma.
“Ibu...”
Lintang bangkit dari duduk-duduknya di teras lalu meraih dan mencium tangan
orang tua satu-satunya setelah kepergian almarhum Bapaknya tahun 2006 silam.
“Itu
nak Paul?” Tanya Ibunya dan dijawab anggukan Lintang.
Paul
turut bangkit berdiri dan menyalami Nyai Asri persis yang dilakukan Lintang.
Meskipun dia tidak terbiasa dengan budaya salim tapi begitulah watak Paul.
Dimana kaki berpijak disitu bumi dijunjung.
“Nak
Paul maaf yah. Ibu tidak sempat menyambut nak Paul.”
Paul
mengangguk. “Tidak apa-apa Ibu saya paham dengan kesibukan ibu.”
Lintang
hanya tersenyum mendengar sapaan Paul pada Ibunya. Memang selama ini hanya
Lintanglah yang memanggilnya Ibu, yang lain lebih merasa kerasan dengan panggilan
Nyai.
“Mister
Paul, tuh kayaknya bawaan ibu banyak deh.”
Lintang
mengisyaratkan matanya menunjuk plastik besar yang dibawa ibunya. Dengan serta
merta Paul mengerti dan serta merta pula hendak mengambil plastik itu dari
tangan perempuan tua yang tengah berdiri.
“Eh,
nggak usah nak Paul. Nanti biar Pras saja yang membawanya masuk. Omongan
Lintang ini jangan terus diambil hati, dia memang orangnya suka sekali usil
apalagi pada orang baru.”
“Korban
baru dong Bu. Hehehe....”
Nyai
Asma bersikeras tidak mau memberikan plastik hitam berukuran besar itu meski
Paul tetap memohon. Hingga akhirnya Nyai Asma mengalah jua. Sementara Lintang
hanya terkekeh puas dengan kejahilannya. Dengan tanpa ampun dipukulnya pelan
sekali pipi Lintang. Tapi yang dipukul malah tambah cekikikan dibuatnya. Paul
hanya diam, sedikit bingung apa yang lucu?
“Maaf
yah nak Paul jadi merepotkan. Ya sudah ibu sama Lintang biar ke dapur dulu
mengurus makan malam nanti. Ini kan juga sudah sore.”
Paul
mengangguk. Ketiganya lantas bebarengan masuk ke rumah. Hanya saja Paul atas
perintah Lintang membawa plastik besar itu ke sanggar belakang. Sehingga
arahnya tidak lagi sama.
Dari
hari ke hari Lintang dan Paul semakin akrab. Lintang yang kebetulan anak semata
wayang tanpa saudara merasa kehadiran Paul belajar budaya di rumah itu
memberikan warna tersendiri. Begitu juga Paul yang merasa lebih enak belajar
dengan Lintang, yang memang sedikit jahil di matanya. Tapi justru membuatnya
merasa lebih nyaman menimba ilmu.
“Hahaha...
ganti nama?” Kekeh riang suara Lintang begitu mendengar penuturan Paul.
“Hahaha...
mungkin memang terdengar lucu. Tetapi saya benar-benar ingin memiliki nama dari
Indonesia. Hmm sejujurnya saya sudah jatuh cinta dengan Indonesia.”
“Hmm
terus? Siapa nama barunya?”
“Saya
sendiri kurang tahu. Makanya saya minta pertimbangan Guru.” Begitu Paul menyapa
Lintang dengan sebutan guru semenjak Lintang menjadi salah satu guru bahasa dan
budayanya. Apalagi Lintang yang suka dengan panggilan itu, malah meminta Paul
tetap memanggilnya dengan sebutan guru meski diluar jam mengajarnya.
“Hmm
siapa yah?”
Lintang
memejamkan matanya mencoba mencari Ilham untuk menemukan nama Indonesia untuk
Paul. Kira-kira beberapa menit keduanya termangu sama-sama sibuk mencari sebuah
nama.
“Aha...
Bagaimana kalau...” Lintang menghentikan kalimatnya sengaja hendak membuat Paul
penasaran.
“Kalau...
apa?”
“Apa?”
Tanya Paul lagi hingga beberapa kali.
“Bagaimana...
kalau... Baskara?”
“Hah...
Baskara?”
Paul
yang merasa asing dengan kosa kata yang baru didengarnya tadi sempat melipat
keningnya. Lintang yang mafhum dengan ketidakmengertian Paul segera
menjelaskan.
“Jadi
Baskara itu, artinya adalah matahari.”
Wajah
Paul segera berubah sumringah mendengar penjelasan itu. Kali ini dia paham arti
dari matahari.
“Bagus
juga. Saya setuju kalau begitu. Jadi mulai sekarang nama saya Baskara.” Paul
memuji.
“Nama
saya sekarang Baskara. Hmm Lintang Baskara...” Teriak Paul. Untung suasana
rumah tidak ramai karena hampir semua orang sibuk di belakang rumah untuk
membuat batik tulis. Pasalnya tiga hari lagi akan diadakan pameran batik di
sanggar milik Nyai Asti.
“Hehehe....”
Lintang
tersenyum. Hatinya menari hingga jauh mencapai puncak langit memandang cahaya
di wajah bule mualaf itu yang kentara girangnya dengan panggilan Baskara.
Baskara? Sejujurnya bukan tanpa alasan Lintang menawarkan nama itu. Baskara
yang berarti matahari, dan matahari adalah bintang. Bintang yang dengan bahasa
lain disebut Lintang. Hatinya dan Baskara tak ubahnya seperti ikatan Bintang
dan matahari. Bagian dari Bintang adalah matahari begitu juga bagian dari hati
Lintang adalah Baskara.
Rumah
Nyai Asma kini disulap seperti dapur batik. Beberapa Batik mulai ditata untuk
dibawa ke sanggar. Pameran baru akan dibuka dua jam lagi. Suasana rumah cukup
sibuk. Disana-sini ada-ada saja yang dikerjakan. Ada yang menyelesaikan
dandanannya sebagai penerima tamu, ada yang sibuk memasang batik di papan,
menghias batik, Pokoknya seabreg orang
berkutat mempersiapkan acara pameran batik.
“Ibu...
Kayaknya pameran batiknya akan sukses besar nih.”
Nyai
Asma terlihat sangat elegan hari itu. Kebaya dan kain Batik lengkap dengan
sanggul dan polesan di wajahnya membuat Ibu satu anak ini semakin beraura.
Senyum manis yang begitu tulus dipersembahkannya pada si gadis yang berdiri
disampingnya memperhatikan para karyawan yang sedang sibuk.
“Wah,
dari dulu Lintang ingin seperti Ibu. Peduli pada budaya dan semangat
berkaryanya sangat tinggi. Indonesia patut bangga punya ibu seperti ibunya
Lintang.” Lintang merebahkan kepalanya di bahu Nyai Asma.
“Kamu
pasti bisa jadi seperti ibu bahkan lebih. Ibu lihat kamu sangat berbakat. Batik
tulis buatanmu itu sebenarnya ingin sekali ibu pamerkan juga. Tapi karena kamu
tidak berkehendak, ibu setuju saja. Toh itu karyamu. Batikmu itu sangat
berkarakter Lin. Sangat menggambarkan perasaan yang susah diungkapkan. Kamu
mewarisi almarhum Bapak ternyata.” Puji Nyai Asma.
“Bapak
dan Ibu dong.” Protesnya.
“Lintang membuat batik itu untuk almarhum
bapak. Jadi sampai kapanpun tidak akan dipamerkan.”
Lintang
masih enggan bangkit dari bahu ibunya tak peduli banyak orang lalu lalang yang
mengamati kemanjaan gadis itu.
“Wah
wah, mesranya anak dan ibu ini...”
Lintang
dan Ibunya menoleh ke sumber suara. Rupanya Baskara sedang mengamati mereka
sedari tadi. Penampilannya sangat beda. Baju batik di padu dengan celana hitam
panjang dan blangkon yang bertengger di kepalanya menutupi rambut pirang milik
Baskara.
“Idih,
Mas baskara ngiri aja nih ye...”
Serentak
ketiganya tertawa. Terjadi sedikit perbincangan dari ketiga orang yang sudah
seperti keluarga intim. Tapi tak lama semuanya berhamburan menuju sanggar.
“Mas
baskara keren loh dengan batik itu.”
Baskara
hanya menanggapi pujian Lintang dengan tawa.
“Lah
kok cuma nyengir. Eh, mas suka batik nggak?”
“Saya
sangat suka batik. Apalagi buatan guru.” Jawab Baskara disusul tawanya yang
ringan.
Diam-diam
Lintang memasukan ke dalam hati kalimat Baskara. Dia jadi ingin sekali membuat
batik tulis. Batik yang akan dipersembahkannya hanya untuk Baskara. Yang akan
dibuatnya tanpa bantuan seorang pun. Sejuta perasaan aneh memang telah
meramaikan hati Lintang yang selama ini sepi. Menyemarakan keindahan seindah
pujian pengunjung pada batik-batik yang dipajang.
“Ibu
senang, batik mendapat tempat di mata masyarakat Indonesia Lin. Lihat tadi tamu
yang datang tidak hanya dari Yogya. Tapi seperti miniatur Indonesia semua dari
berbagai daerah datang.” Kata Nyai Asma sembari menikmati teh hangat buatan
putrinya itu.
“Iya
Bu. Bahkan banyak orang manca yang juga turut datang kok Bu. Lintang juga
sangat senang Bu.”
“Oh
ya tadi juga banyak orang kita yang memuji Baskara Bu. Mereka mungkin merasa
kagum pada bule itu.”
Nyai
Asma mengangguk.
“Ibu
juga cukup kagum. Setidaknya pesona batik dan budaya kita ternyata menyebar
bahkan sampai ke manca negara yah Lin.”
Lintang
menguap. Matanya kelihatan sudah sangat mengantuk. Setelah permisi tidur, dia
langsung menuju kamar yang letaknya di lantai dua.
Keesokan
harinya...
Pagi-pagi
benar usai sholat shubuh Lintang bertandang menuju belakang rumah tempat
membuat batik. Seharian ini, tak banyak yang dilakukan Lintang selain menggores
kain membentuk ukiran-ukiran.
Banyak
yang heran dengan semangat Lintang membuat batik kali ini. Hingga kadang jika
tidak diingatkan, minum saja dia lupa. Hari demi hari begitu terus yang
diperbuat Lintang. Tapi dia tetap senang dan tak lelah melakukannya. Entah,
mungkin Baskara telah mengobarkan semangat Lintang dengan cahayanya yang begitu
hangat.
“Hampir jadi. Besok pasti jadi.” Batin
Lintang girang bukan main.
“Guru.”
Tegur Baskara.
Lintang
menoleh.
“Mas
Baskara? Duduk saja.”
Baskara
lantas mendudukan dirinya di dekat Lintang. Gadis itu melirik Baskara. Wajahnya
memerah begitu pujian demi pujian mendarat kepadanya. Apalagi dari seseorang
yang memiliki tempat tersendiri dalam istana jiwanya.
“Hehehe...
Sudah jangan memuji terus.”
“Ngomong-ngomong,
kenapa kamu begitu semangat membuat batik. Semangat yang menurut saya sangat.”
“Hmm
kenapa yah? Ah, nanti mas Baskara juga tahu sendiri kenapa.”
Baskara
tak mengerti. Tetapi dia mengangguk saja.
“Sebenarnya
saya ingin mengatakan sesuatu. Hmm tapi sebaiknya nanti malam saja saya katakan.
Supaya saya tidak mengganggu Guru.”
Lintang
sebenarnya penasaran. Tapi dia akui sekarang memang dia tidak ingin ada yang
mengganggunya membuat batik.
Malam
itu, tak satu pun bintang tertangkap di mata Lintang. Meski matanya terus
berusaha menelusur permukaan langit malam itu. Mendung.
“Lin,
Baskara mau bicara sama kita.”
Lintang
menoleh. Tak disangka rupanya Ibunya juga diundang bicara oleh Baskara. Meski
heran, Lintang lalu mengekor ibunya menuju ruang tengah. Disana terlihat
baskara sedang membolak-balik majalah berbahasa jawa. Lintang yakin si bule itu
tidak paham dengan isi majalah itu, tetapi mungkin lebih karena hanya majalah
jawa yang menghiasi rak ruang tengah.
“Ada
apa toh Mas Bas? Kok terkesannya serius sekali. Malah tadi saya kira kita mau
bicara cuma empat mata.” Ucap Lintang berterus terang.
Baskara
tersenyum sebelum memulai kalimatnya.
“Sebelumnya,
saya berterima kasih sekali pada Ibu, kepada Guru, dan juga Sanggar yang indah
ini. Saya sungguh banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman dari sini. Saya tahu
bahkan mungkin nyawa saya pun tak mampu untuk membayar kebaikan kalian pada
saya selama ini.”
Lintang
semakin serius hingga perlu melipat keningnya mendegarkan kata-kata Baskara.
“Jadi
sebenarnya ada apa?” Tanya Lintang sungguh tak sabaran.
“Sabar
Lin. Nak Baskara kan belum selesai bicara.” Tegur Nyai Asma pada putrinya agar
lebih sopan.
“Tidak
apa-apa Bu. Baik, jadi saya langsung ke intinya saja. Hmm sebenarnya saya mau
pamit pulang ke Jerman. Insya Allah saya mau menikah dengan pacar saya disana.
Kita sudah bertunangan. Dan...”
Belum
selesai kalimat Baskara, Lintang tanpa mengindahkan tata krama lagi langsung
memotongnya.
“Kenapa
tidak bilang dari awal?” Tanya Lintang yang lebih tepat seperti menggertak.
“Lintang.”
“Maaf
tapi saya bukan tidak ingin memberi tahu. Tetapi ini masalah rencana saja.
Rencana manusia mungkin saja tidak tersampaikan sehingga saya memilih tak ingin
banyak bicara sebelum pasti.” Baskara masih sabar dengan kekasaran Lintang.
Tanpa
banyak kata lagi, diambilnya segelas air putih yang belum terjamah di meja itu
dan langsung saja bak kesetanan diguyurnya Baskara.
“Lintang....”
Nada bicara Nyai Asma sudah mencapai puncak.
Hatinya
hancur. Jerih payahnya selama ini jadi terlihat bodoh dimata Lintang. Batik
yang selalu dengan sabar diselesaikannya kini seperti kain kafan yang siap
membalut tubuhnya yang tidak bersemangat lagi. Butiran tangisan langit menetes
menyanyikan lagu kesedihan yang lara. Gemuruh terdengar lebih menakutkan dari
biasanya.
Lintang
menyepi di balik kamarnya. Wajahnya terbenam disebalik bantal bersarung batik
yang dibuat almarhum ayahnya dulu.
Sementara
itu, masih dari arah ruang tengah. Baskara dan Nyai Asma melanjutkan
perbincangan. Baskara benar-benar tak mengerti apa kesalahannya hingga Lintang
sebegitu marah. Tetapi Nyai Asma mengerti. Sedari dulu dia menyadari perasaan
anaknya pada Baskara. Tapi itu dibiarkannya saja mengalir. Karena Nyai Asma pun
tak tahu, akan begini akhirnya.
Keesokan
paginya. Baskara benar-benar pergi. Mungkin suatu saat dia akan kembali
mengunjungi tempat itu. Tetapi hati Lintang yang dibawanya pergi tidak akan
pernah bisa kembali sampai kapanpun. Sampai kapanpun.
Hari
demi hari Lintang semakin tak bergairah. Batik yang tinggal sehari itu belum
dijamahnya lagi. Sepi sekali atmosfer di rumah itu. Tak ada lagi ulah usil Lintang
dan tawanya yang riang mengisi penuh ruangan.
Nyai
Asma bingung, tak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menolong Lintang.
Berbagai cara dilakukannya termasuk memperkenalkan Lintang pada sejumlah
pemuda. Tetapi Lintang tak banyak berubah. Stagnan.
Malam harinya, langit
mendung seperti tempo lalu. Persis tak ada bintang yang tertangkap di matanya. Mendung. Lintang masih duduk termangu di
malam itu. Tangan kirinya menggenggam erat besi tipis. Perlahan digoresnya
lengan tangannya sendiri. Darahnya menetes, sedikit demi sedikit jatuh
mengguyur lantai bersamaan dengan butiran hujan yang mengguyur bumi. Pelan dia
menggoreskan lelehan merah yang mengucur di kain batiknya yang hampir selesai.
Wajahnya yang semakin tirus tersenyum. Di goresnya lagi perlahan-lahan.
Sesekali digoresnya lagi lengannya. Terus begitu. Wajahnya semakin pucat dan
penglihatannya mengabur. Gemuruh di langit sana menggelegar tapi tak mampu
mengejutkan Lintang yang terlelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar