Laman

Sabtu, 16 Agustus 2014

Batik Lintang (cerpen jadulku)



Pukul 12 siang. Seorang pemuda berkulit putih menghela nafasnya. Sudah hampir setengah jam yang lalu dia menempatkan dirinya berdiam menunggu kereta api jurusan yogyakarta.
“Jakarta hmm udaranya sangat panas yah.” Katanya pada sesosok wanita yang turut duduk tepat disampingnya.
Wanita berusia kira-kira 22 tahunan itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
“Saya menunggu kereta saya.” Katanya lagi. Tapi sekali lagi pula wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
Pemuda itu mengamati sejenak wanita bersanggul itu. Dalam hatinya muncul berbagai pertanyaan mengapa wanita itu tak menggubrisnya. Padahal dia hanya ingin mengajaknya berbincang sekedar menghilangkan kejenuhan yang dirasa. Atau mungkin saja wanita itu bisu. Bukan hal yang tidak mungkin bukan?
 Wanita itu tampak sudah mulai lelah. Terlihat rembesan keringat yang mengguyur pelan muncul ke permukaan tubuhnya. Pemuda berkulit putih tinggi itu lalu teringat sesuatu lantas mengeluarkannya. Sebotol air minum dan sekaleng kecil biskuit. Disodorkannya kepada si wanita.
“Tidak, terima kasih.” Kata wanita itu akhirnya bersuara.
“Kamu hmm sepertinya kelelahan yah.”
Wanita itu diam dan sekarang mulai mengeluarkan tissue dari tas kecil yang dibawanya. Tampak sekali kekakuan diantara keduanya.
“Kenapa keretanya datang sangat lama sekali. Padahal saya sudah lama menunggu.” Kata pria bule itu sedikit kesal.
Wanita itu memandang ke arahnya.
“Sabar saja bang nanti juga pasti datang.”
“Bang? Apa itu?”
“Maksud saya hmm apa yah bahasa inggrisnya?”
“Apa kamu kata saya tidak begitu mengerti.”
“Bang itu nama sebutan untuk saudara laki-laki.”
“Oh... maaf saya memang belum begitu ahli hmm apa hmm ngomong bahasa Indonesia. Tapi saya sudah dua tahun belajar. Jadi saya sudah cukup bisa yah sedikit.”
“Wah, itu namanya bukan sedikit toh. Orang sudah lancar begitu. Saya saja salut loh.” Puji wanita itu.
“Terima kasih”, Pemuda itu mengembangkan senyumnya, “Tapi ngomong-ngomong toh apa itu?”
Wanita itu sejenak terdiam untuk berfikir. Mencoba memberikan jawaban terbaik.
“Toh adalah semacam partikel khas daerah yogyakarta. Dan itu tidak ada artinya. Paham mister?”
Kening bule itu mengernyit, “Seperti di Jakarta orang sebut, dong?”
Gadis itu mengangguk sembari meringis. Hatinya geli mendengar setiap percakapan si bule. Tapi dia tetap mempertahankan citra kesopanan sehingga tak sampai terbahak.
“Oh... yah yah saya paham sekarang. Indonesia memang kaya sekali seperti istilah dong lalu orang yogya sebut apa?”
“Toh.” Wanita itu mengingatkan.
“Yah, toh. Hmm saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda. Jadi saya bisa menambah pengetahuan saya tentang bahasa Indonesia. Mungkin kapan-kapan kita bisa berjumpa lagi dan bisa belajar lagi juga.”
Wanita itu mengangguk. Batinnya masih menyimpan kekaguman pada pria bule yang begitu semangatnya ingin mengenal Indonesia.
“Anda ini mau kemana?” Akhirnya wanita itu menuturkan pertanyaan yang sedari tadi dipendamnya.
“Saya mau ke Yogyakarta untuk belajar.”
“Yogyanya mana?”
“Hmm Sleman. Saya mau ke sanggar budaya di sana.”
“Sanggar budaya Sleman?” Tanya wanita itu dengan ekspresi sedikit kaget.
“Iya memangnya kenapa?”
“Apa Anda itu Mister Paul?”
Pemuda itu mengangguk tapi juga heran.
“Anda mengenal saya?”
“Begini, saya ini anak pemilik sanggar budaya di sana. Saya sudah tahu kalau mister Paul akan datang. Tapi nggak menyangka dipertemukan lebih dulu disini.”
“Oh, begitu. Paul Schweger.” Kata Paul sembari memberikan tangannya ramah.
“Lintang.” Wanita itu menyalaminya dengan ramah pula.
“Saya sungguh tidak menyangka loh. Ternyata kita ini searah tujuan tapi kok ya podo ora ngerti. Hmm walah-walah tidak disangka yah?” Kata Lintang telihat sumringah.
Si bule yang sejujurnya tidak mengerti bahasa jawa yang diucapkan Lintang memilih mengangguk saja. Memang begitulah Lintang kadang suka asal ceplos kalau sudah merasa kenal. Tapi kadang bikin ilfeel juga SKSDnya.
Tuuuuuut tuuuut........
Tak lama kereta yang mereka tunggu datang. Keduanya bersiap berdiri menggenggam barang bawaan masing-masing. Si Bule dan Lintang duduk berjajar. Tapi tak berapa lama, si bule mempersilakan wanita setengah baya untuk menempati tempatnya. Lintang hanya tersenyum melihat keramahannya.
Hmm kapan yah pemuda Indonesia seperti itu?” Lintang membatin.
Sesampainya di sanggar budaya Sleman, Lintang lantas memanggil Ratih untuk mengantar Paul ke kamar tamu. Sementara dia sendiri segera menuju ruang belakang tempat membuat batik tulis.
“Ibu dimana yah mbak Ami?”
Ami yang sedari tadi sibuk dengan batik tulisnya sempat lola (Loading lambat) mendengar pertanyaan Lintang.
“Oh yah, Ibu tadi bilang katanya mau pergi ke Bantul. Eh, bagaimana acara sarasehan budaya di Jakarta kemarin?”
Lintang mengacungkan dua jempolnya. Ami pun langsung mengangguk.
Sekitar pukul 5 sore, ketika Lintang dan Paul sedang asyik beerbincang tentang bahasa Jawa Yogyakarta, datang sesosok wanita yang lebih akrab dipanggil Nyai Asma.
“Ibu...” Lintang bangkit dari duduk-duduknya di teras lalu meraih dan mencium tangan orang tua satu-satunya setelah kepergian almarhum Bapaknya tahun 2006 silam.
“Itu nak Paul?” Tanya Ibunya dan dijawab anggukan Lintang.
Paul turut bangkit berdiri dan menyalami Nyai Asri persis yang dilakukan Lintang. Meskipun dia tidak terbiasa dengan budaya salim tapi begitulah watak Paul. Dimana kaki berpijak disitu bumi dijunjung.
“Nak Paul maaf yah. Ibu tidak sempat menyambut nak Paul.”
Paul mengangguk. “Tidak apa-apa Ibu saya paham dengan kesibukan ibu.”
Lintang hanya tersenyum mendengar sapaan Paul pada Ibunya. Memang selama ini hanya Lintanglah yang memanggilnya Ibu, yang lain lebih merasa kerasan dengan panggilan Nyai.
“Mister Paul, tuh kayaknya bawaan ibu banyak deh.”
Lintang mengisyaratkan matanya menunjuk plastik besar yang dibawa ibunya. Dengan serta merta Paul mengerti dan serta merta pula hendak mengambil plastik itu dari tangan perempuan tua yang tengah berdiri.
“Eh, nggak usah nak Paul. Nanti biar Pras saja yang membawanya masuk. Omongan Lintang ini jangan terus diambil hati, dia memang orangnya suka sekali usil apalagi pada orang baru.”
“Korban baru dong Bu. Hehehe....”
Nyai Asma bersikeras tidak mau memberikan plastik hitam berukuran besar itu meski Paul tetap memohon. Hingga akhirnya Nyai Asma mengalah jua. Sementara Lintang hanya terkekeh puas dengan kejahilannya. Dengan tanpa ampun dipukulnya pelan sekali pipi Lintang. Tapi yang dipukul malah tambah cekikikan dibuatnya. Paul hanya diam, sedikit bingung apa yang lucu?
“Maaf yah nak Paul jadi merepotkan. Ya sudah ibu sama Lintang biar ke dapur dulu mengurus makan malam nanti. Ini kan juga sudah sore.”
Paul mengangguk. Ketiganya lantas bebarengan masuk ke rumah. Hanya saja Paul atas perintah Lintang membawa plastik besar itu ke sanggar belakang. Sehingga arahnya tidak lagi sama.
Dari hari ke hari Lintang dan Paul semakin akrab. Lintang yang kebetulan anak semata wayang tanpa saudara merasa kehadiran Paul belajar budaya di rumah itu memberikan warna tersendiri. Begitu juga Paul yang merasa lebih enak belajar dengan Lintang, yang memang sedikit jahil di matanya. Tapi justru membuatnya merasa lebih nyaman menimba ilmu.
“Hahaha... ganti nama?” Kekeh riang suara Lintang begitu mendengar penuturan Paul.
“Hahaha... mungkin memang terdengar lucu. Tetapi saya benar-benar ingin memiliki nama dari Indonesia. Hmm sejujurnya saya sudah jatuh cinta dengan Indonesia.”
“Hmm terus? Siapa nama barunya?”
“Saya sendiri kurang tahu. Makanya saya minta pertimbangan Guru.” Begitu Paul menyapa Lintang dengan sebutan guru semenjak Lintang menjadi salah satu guru bahasa dan budayanya. Apalagi Lintang yang suka dengan panggilan itu, malah meminta Paul tetap memanggilnya dengan sebutan guru meski diluar jam mengajarnya.
“Hmm siapa yah?”
Lintang memejamkan matanya mencoba mencari Ilham untuk menemukan nama Indonesia untuk Paul. Kira-kira beberapa menit keduanya termangu sama-sama sibuk mencari sebuah nama.
“Aha... Bagaimana kalau...” Lintang menghentikan kalimatnya sengaja hendak membuat Paul penasaran.
“Kalau... apa?”
“Apa?” Tanya Paul lagi hingga beberapa kali.
“Bagaimana... kalau... Baskara?”
“Hah... Baskara?”
Paul yang merasa asing dengan kosa kata yang baru didengarnya tadi sempat melipat keningnya. Lintang yang mafhum dengan ketidakmengertian Paul segera menjelaskan.
“Jadi Baskara itu, artinya adalah matahari.”
Wajah Paul segera berubah sumringah mendengar penjelasan itu. Kali ini dia paham arti dari matahari.
“Bagus juga. Saya setuju kalau begitu. Jadi mulai sekarang nama saya Baskara.” Paul memuji.
“Nama saya sekarang Baskara. Hmm Lintang Baskara...” Teriak Paul. Untung suasana rumah tidak ramai karena hampir semua orang sibuk di belakang rumah untuk membuat batik tulis. Pasalnya tiga hari lagi akan diadakan pameran batik di sanggar milik Nyai Asti.
“Hehehe....”
Lintang tersenyum. Hatinya menari hingga jauh mencapai puncak langit memandang cahaya di wajah bule mualaf itu yang kentara girangnya dengan panggilan Baskara. Baskara? Sejujurnya bukan tanpa alasan Lintang menawarkan nama itu. Baskara yang berarti matahari, dan matahari adalah bintang. Bintang yang dengan bahasa lain disebut Lintang. Hatinya dan Baskara tak ubahnya seperti ikatan Bintang dan matahari. Bagian dari Bintang adalah matahari begitu juga bagian dari hati Lintang adalah Baskara.
Rumah Nyai Asma kini disulap seperti dapur batik. Beberapa Batik mulai ditata untuk dibawa ke sanggar. Pameran baru akan dibuka dua jam lagi. Suasana rumah cukup sibuk. Disana-sini ada-ada saja yang dikerjakan. Ada yang menyelesaikan dandanannya sebagai penerima tamu, ada yang sibuk memasang batik di papan, menghias batik,  Pokoknya seabreg orang berkutat mempersiapkan acara pameran batik.
“Ibu... Kayaknya pameran batiknya akan sukses besar nih.”
Nyai Asma terlihat sangat elegan hari itu. Kebaya dan kain Batik lengkap dengan sanggul dan polesan di wajahnya membuat Ibu satu anak ini semakin beraura. Senyum manis yang begitu tulus dipersembahkannya pada si gadis yang berdiri disampingnya memperhatikan para karyawan yang sedang sibuk.
“Wah, dari dulu Lintang ingin seperti Ibu. Peduli pada budaya dan semangat berkaryanya sangat tinggi. Indonesia patut bangga punya ibu seperti ibunya Lintang.” Lintang merebahkan kepalanya di bahu Nyai Asma.
“Kamu pasti bisa jadi seperti ibu bahkan lebih. Ibu lihat kamu sangat berbakat. Batik tulis buatanmu itu sebenarnya ingin sekali ibu pamerkan juga. Tapi karena kamu tidak berkehendak, ibu setuju saja. Toh itu karyamu. Batikmu itu sangat berkarakter Lin. Sangat menggambarkan perasaan yang susah diungkapkan. Kamu mewarisi almarhum Bapak ternyata.” Puji Nyai Asma.
“Bapak dan Ibu dong.” Protesnya.
 “Lintang membuat batik itu untuk almarhum bapak. Jadi sampai kapanpun tidak akan dipamerkan.”
Lintang masih enggan bangkit dari bahu ibunya tak peduli banyak orang lalu lalang yang mengamati kemanjaan gadis itu.
“Wah wah, mesranya anak dan ibu ini...”
Lintang dan Ibunya menoleh ke sumber suara. Rupanya Baskara sedang mengamati mereka sedari tadi. Penampilannya sangat beda. Baju batik di padu dengan celana hitam panjang dan blangkon yang bertengger di kepalanya menutupi rambut pirang milik Baskara.
“Idih, Mas baskara ngiri aja nih ye...”
Serentak ketiganya tertawa. Terjadi sedikit perbincangan dari ketiga orang yang sudah seperti keluarga intim. Tapi tak lama semuanya berhamburan menuju sanggar.
“Mas baskara keren loh dengan batik itu.”
Baskara hanya menanggapi pujian Lintang dengan tawa.
“Lah kok cuma nyengir. Eh, mas suka batik nggak?”
“Saya sangat suka batik. Apalagi buatan guru.” Jawab Baskara disusul tawanya yang ringan.
Diam-diam Lintang memasukan ke dalam hati kalimat Baskara. Dia jadi ingin sekali membuat batik tulis. Batik yang akan dipersembahkannya hanya untuk Baskara. Yang akan dibuatnya tanpa bantuan seorang pun. Sejuta perasaan aneh memang telah meramaikan hati Lintang yang selama ini sepi. Menyemarakan keindahan seindah pujian pengunjung pada batik-batik yang dipajang.
“Ibu senang, batik mendapat tempat di mata masyarakat Indonesia Lin. Lihat tadi tamu yang datang tidak hanya dari Yogya. Tapi seperti miniatur Indonesia semua dari berbagai daerah datang.” Kata Nyai Asma sembari menikmati teh hangat buatan putrinya itu.
“Iya Bu. Bahkan banyak orang manca yang juga turut datang kok Bu. Lintang juga sangat senang Bu.”
“Oh ya tadi juga banyak orang kita yang memuji Baskara Bu. Mereka mungkin merasa kagum pada bule itu.”
Nyai Asma mengangguk.
“Ibu juga cukup kagum. Setidaknya pesona batik dan budaya kita ternyata menyebar bahkan sampai ke manca negara yah Lin.”
Lintang menguap. Matanya kelihatan sudah sangat mengantuk. Setelah permisi tidur, dia langsung menuju kamar yang letaknya di lantai dua.
Keesokan harinya...
Pagi-pagi benar usai sholat shubuh Lintang bertandang menuju belakang rumah tempat membuat batik. Seharian ini, tak banyak yang dilakukan Lintang selain menggores kain membentuk ukiran-ukiran.
Banyak yang heran dengan semangat Lintang membuat batik kali ini. Hingga kadang jika tidak diingatkan, minum saja dia lupa. Hari demi hari begitu terus yang diperbuat Lintang. Tapi dia tetap senang dan tak lelah melakukannya. Entah, mungkin Baskara telah mengobarkan semangat Lintang dengan cahayanya yang begitu hangat.
Hampir jadi. Besok pasti jadi.” Batin Lintang girang bukan main.
“Guru.” Tegur Baskara.
Lintang menoleh.
“Mas Baskara? Duduk saja.”
Baskara lantas mendudukan dirinya di dekat Lintang. Gadis itu melirik Baskara. Wajahnya memerah begitu pujian demi pujian mendarat kepadanya. Apalagi dari seseorang yang memiliki tempat tersendiri dalam istana jiwanya.
“Hehehe... Sudah jangan memuji terus.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu begitu semangat membuat batik. Semangat yang menurut saya sangat.”
“Hmm kenapa yah? Ah, nanti mas Baskara juga tahu sendiri kenapa.”
Baskara tak mengerti. Tetapi dia mengangguk saja.
“Sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu. Hmm tapi sebaiknya nanti malam saja saya katakan. Supaya saya tidak mengganggu Guru.”
Lintang sebenarnya penasaran. Tapi dia akui sekarang memang dia tidak ingin ada yang mengganggunya membuat batik.
Malam itu, tak satu pun bintang tertangkap di mata Lintang. Meski matanya terus berusaha menelusur permukaan langit malam itu. Mendung.
“Lin, Baskara mau bicara sama kita.”
Lintang menoleh. Tak disangka rupanya Ibunya juga diundang bicara oleh Baskara. Meski heran, Lintang lalu mengekor ibunya menuju ruang tengah. Disana terlihat baskara sedang membolak-balik majalah berbahasa jawa. Lintang yakin si bule itu tidak paham dengan isi majalah itu, tetapi mungkin lebih karena hanya majalah jawa yang menghiasi rak ruang tengah.
“Ada apa toh Mas Bas? Kok terkesannya serius sekali. Malah tadi saya kira kita mau bicara cuma empat mata.” Ucap Lintang berterus terang.
Baskara tersenyum sebelum memulai kalimatnya.
“Sebelumnya, saya berterima kasih sekali pada Ibu, kepada Guru, dan juga Sanggar yang indah ini. Saya sungguh banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman dari sini. Saya tahu bahkan mungkin nyawa saya pun tak mampu untuk membayar kebaikan kalian pada saya selama ini.”
Lintang semakin serius hingga perlu melipat keningnya mendegarkan kata-kata Baskara.
“Jadi sebenarnya ada apa?” Tanya Lintang sungguh tak sabaran.
“Sabar Lin. Nak Baskara kan belum selesai bicara.” Tegur Nyai Asma pada putrinya agar lebih sopan.
“Tidak apa-apa Bu. Baik, jadi saya langsung ke intinya saja. Hmm sebenarnya saya mau pamit pulang ke Jerman. Insya Allah saya mau menikah dengan pacar saya disana. Kita sudah bertunangan. Dan...”
Belum selesai kalimat Baskara, Lintang tanpa mengindahkan tata krama lagi langsung memotongnya.
“Kenapa tidak bilang dari awal?” Tanya Lintang yang lebih tepat seperti menggertak.
“Lintang.”
“Maaf tapi saya bukan tidak ingin memberi tahu. Tetapi ini masalah rencana saja. Rencana manusia mungkin saja tidak tersampaikan sehingga saya memilih tak ingin banyak bicara sebelum pasti.” Baskara masih sabar dengan kekasaran Lintang.
Tanpa banyak kata lagi, diambilnya segelas air putih yang belum terjamah di meja itu dan langsung saja bak kesetanan diguyurnya Baskara.
“Lintang....” Nada bicara Nyai Asma sudah mencapai puncak.
Hatinya hancur. Jerih payahnya selama ini jadi terlihat bodoh dimata Lintang. Batik yang selalu dengan sabar diselesaikannya kini seperti kain kafan yang siap membalut tubuhnya yang tidak bersemangat lagi. Butiran tangisan langit menetes menyanyikan lagu kesedihan yang lara. Gemuruh terdengar lebih menakutkan dari biasanya.
Lintang menyepi di balik kamarnya. Wajahnya terbenam disebalik bantal bersarung batik yang dibuat almarhum ayahnya dulu.
Sementara itu, masih dari arah ruang tengah. Baskara dan Nyai Asma melanjutkan perbincangan. Baskara benar-benar tak mengerti apa kesalahannya hingga Lintang sebegitu marah. Tetapi Nyai Asma mengerti. Sedari dulu dia menyadari perasaan anaknya pada Baskara. Tapi itu dibiarkannya saja mengalir. Karena Nyai Asma pun tak tahu, akan begini akhirnya.
Keesokan paginya. Baskara benar-benar pergi. Mungkin suatu saat dia akan kembali mengunjungi tempat itu. Tetapi hati Lintang yang dibawanya pergi tidak akan pernah bisa kembali sampai kapanpun. Sampai kapanpun.
Hari demi hari Lintang semakin tak bergairah. Batik yang tinggal sehari itu belum dijamahnya lagi. Sepi sekali atmosfer di rumah itu. Tak ada lagi ulah usil Lintang dan tawanya yang riang mengisi penuh ruangan.
Nyai Asma bingung, tak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menolong Lintang. Berbagai cara dilakukannya termasuk memperkenalkan Lintang pada sejumlah pemuda. Tetapi Lintang tak banyak berubah. Stagnan.
Malam harinya, langit mendung seperti tempo lalu. Persis tak ada bintang yang tertangkap di matanya. Mendung. Lintang masih duduk termangu di malam itu. Tangan kirinya menggenggam erat besi tipis. Perlahan digoresnya lengan tangannya sendiri. Darahnya menetes, sedikit demi sedikit jatuh mengguyur lantai bersamaan dengan butiran hujan yang mengguyur bumi. Pelan dia menggoreskan lelehan merah yang mengucur di kain batiknya yang hampir selesai. Wajahnya yang semakin tirus tersenyum. Di goresnya lagi perlahan-lahan. Sesekali digoresnya lagi lengannya. Terus begitu. Wajahnya semakin pucat dan penglihatannya mengabur. Gemuruh di langit sana menggelegar tapi tak mampu mengejutkan Lintang yang terlelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar