Laman

Sabtu, 16 Agustus 2014

Arrahman



Tidakkah yang lain pernah merasa bimbang, seperti aku yang selalu merasa asing dengan dunia ini. Tiba-tiba ada yang terlahir dan mati. Tiba-tiba malam dan siang. Tiba-tiba semuanya begitu saja terjadi. Sedang aku tak tahu apapun. Yang ku tahu hanyalah hatiku risau dengan diriku sendiri.
Aku menolehkan wajahku ke arah ibuku. Jelas sangat parasnya kusut. Memandangku dengan kehangatan yang khas dipancarkannya. Tangannya memegangi album foto itu. Baru kusadari, aku sangat berarti baginya. Sedang terlalu banyak dosa dan luka yang pernah kubuat di hatinya.
Teringat dulu, ketika aku berkata kasar padanya. Marah-marah bukanlah hal asing yang terdengar di telinga seorang wanita yang begitu tulusnya mengasihiku. Setiap hari ribuan do’a terucap untukku. Sedang aku? Untuk sekedar  1 kali saja terkadang aku lupa. Itu semua aku tukar hanya untuk kepentingan pribadiku. Berkumpul dengan teman-temanku. Yang ku cari hanya tertawa tiada arti. Tak peduli meski mungkin saudaraku ada yang merintih sakit. Mungkin begitulah, kehidupan ingin mengajariku rasa sakit.
Aku tahu banyak sekali sesal yang kuungkapkan pada dunia. Namun, hanya untuk sekedar mengucap maaf pada ibuku saja terasa sangat sulit. Apalagi berterima kasih padanya. Aku tak tahu, kenapa aku begitu?.
 “Tidurlah putriku, tak usah takut. Ibu tidak akan beranjak dari sini.  Ibu rela tak tertidur selamanya untuk menjagamu, supaya kau tak takut”, ucap ibuku dengan iba.
“Bu, aku masih ingat ketika kecilku ibu pernah menceritakan padaku tentang seorang pria yang dimuliakan. Lalu cobaan datang padanya. Dia diserang penyakit yang sangat menjijikan hingga semua harta, istri dan kebahagiaannya yang dulu pergi begitu saja meninggalkannya. Lalu? yang ku ingat semua itu kembali kan bu. Terangkan padaku bagaimana selanjutnya. Aku sudah lupa. Bagaimana semua itu kembali, Bu?”,pintaku.
Dengan lembut dan belaian tangan yang terus meraih wajahku, ibu mulai menceritakannya untukku.
“Pria itu adalah nabi Ayub.  Seorang pria yang sangat sabar dalam menghadapi cobaan hidup. Baginya sudahlah lebih dari cukup apa yang Allah berikan padanya. Tak lelah dia berdo’a dan berusaha. Hingga suatu ketika semua penyakit yang dideritanya sembuh. Seusai dia berwudhu lalu dia berdo’a kepada Tuhannya. Lalu Allah yang maha pengasih menyembuhkan nabi Ayub.Dan karena keikhlasanya itu, Allah memujinya sebagai orang yang sabar.”
“Ibu, aku juga ingin sembuh. Aku ingin berwudhu dan berdo’a seperti nabi Ayub”.
“Ya, tentu nak.”
Lalu, ibu menempelkan tangannya pada cermin. Debunya ia usapkan pada muka dan tanganku.
“Ibu, aku ingin berwudhu dengan air yang suci tapi mengapa engkau berikan aku debu?. Apakah karena aku banyak dosa yah bu? Hingga aku tak boleh berwudhu dengan air yang suci.”
“Tidak anakku, sesungguhnya Allah itu tidak melihat segala sesuatu dari jenisnya tapi dari niatnya. Memang betul debu itu kotor tapi dia akan menyucikan manakala kita meniatkannya untuk bersuci”
Kadang aku merasa heran, kenapa Tuhan yang begitu sempurnanya masih saja menciptakan manusia. Apakah Tuhan ingin disembah oleh manusia? lantas mengapa Dia tidak menampakan wujudnya saja hingga manusia percaya dan menyembahNya? Lalu mengapa Dia perlu menciptakan Surga dan Neraka? Mengapa semua orang harus mengimaniNya? Mengapa mereka harus lahir dan kemudian mati? Mengapa Tuhan memilihku untuk sakit seperti ini? Bencikah Tuhan padaku yang telah banyak berbuat dosa? Inginkah Tuhan melihatku sengsara sebelum matiku. Lalu apa yang akan terjadi setelah aku mati? Bagaimana dengan mereka yang pernah aku sakiti hatinya dan menyakiti aku? Akankah semuanya selesai begitu saja? Sedang alam ini tercipta dengan begitu teratur dan adilnya. Akankah ini semua adil jika semua yang telah terjadi hanya akan selesai begitu saja? Bukankah itu semua mustahil? Atau barang kali aku tak mengerti karena aku tidak pernah mengenal Dia.
“Ibu, ceritakan padaku tentang siapa itu Tuhan dan siapa itu manusia?”
“Putriku, tak ada yang ingin ibu dengar selain kata yang telah kau ucapkan tadi. Akan sangat berat beban Ibu jika tidak menyampaikan risalah islam padamu. Tuhan kita adalah Allah yang memiliki 99 nama indah. Islam itu artinya adalah selamat karena Tuhan semesta alam telah menjanjikan keselamatan bagi mereka yang berislam kaffah. Artinya, mereka yang berislam sesungguh-sungguhnya berislam, menjalankan setiap perintahNya dan menjauhi segala larangan-laranganNya. Tidaklah mahal untuk bisa diridho’i Allah, kita cukup dengan ikhlas dan sepenuh hati mengucapkan kalimat syahadat sebagai langkah awal bagi kita menjadi seorang muslim.”
“Bu, apakah aku pernah mengucapkan kalimat syahadat itu?”
“Tentu”
“Apakah itu sama artinya  bahwa Tuhan semesta alam telah meridlo’iku dan aku pasti akan selamat karena aku telah berislam?”
Mendengar kata-kataku itu aku melihat wajah ibuku bertambah sedih. Aku tidak mengerti mengapa ibu begitu.
“Iya, sekarang kau harus istirahat ya, biar ibu yang menjagamu disini.” 
****
Pagi ini ku kembali terbangun. Tak ada yang aneh, hari ini aku masih bisa merasakan sinar mentari, merdunya kicau burung, suara langkah kaki, gemericik air, dan hembusan udara pagi yang sejuk. Ada ketenangan dan kesunyian. Kali ini aku ingin sejenak keluar menghirup udara dan menyapa bunga-bunga indah di luar sana. Aku berjalan sendiri menuju ke taman rumah sakit ini dan ibu pun tak keberatan. Menurut ibu kebahagiaanku tidak boleh tergadai hanya karena sakit yang kuderita. Itu semua terlalu mahal untuk dilewatkan.
Kupandangi satu persatu bunga di taman ini, lalu kuambil sehelai kertas dan kutuliskan sebait puisi di lembar itu.
Bunga, diam-diam aku iri padamu,
Kau indah dan suci
Hidupmu penuh pahala
Kau hibur hati yang berduka dengan indah dirimu
Kau lambang keindahan dan tempatmu nanti, pasti tempat mulia… 
Selagi aku masih merangkai bait puisi, terdengar suara seorang wanita menyapaku dari belakang, “Assalamu’alaikum rahma…”
Sejenak kupandangi sosok wanita yang tengah berdiri dan tersenyum padaku. Aku yakin aku mengenalnya di sekolah. Anak yang dulu sangat kubenci karena gayanya yang sok alim. Sudah cukup sering juga aku dan gang-ku mengolok-olok dan menyindirnya setiap kali dia dan sekelompok siswi jilbaber lewat di sekitar kami.
“Kau anak rohis itu kan?”
“Iya, namaku aini.” Aini mengulurkan tangannya.
“Kamu mau menemui siapa? Keluargamu ada yang dirawat disini?” Aku membalas uluran tangannya.
“Tidak. Aku kesini mewakili anak-anak yang lain ingin menjenguk rahma”
“Menjengukku?”
Padahal teman-teman yang mengaku sahabat sejatiku, tak ada yang berani dekat-dekat denganku lagi hanya karena aku terkena penyakit mematikan dan hidupku tinggal menghitung hari. Teman-teman yang dulu kupikir akan selamanya menjadi temanku.
“Rahma?” panggil Aini.
“Terimakasih yah”
Aini tersenyum, “Rahma, mohon maaf sebelumnya. Sebenarnya, aku kesini selain ingin menjenguk juga ingin memberikan sesuatu.”
“Apa?”
“Alqur’an dan buku catatan harian ini padamu. Aku percaya rahma tidak akan membiarkan buku ini sia-sia belaka ” lagi-lagi Aini tersenyum.
“Tetapi aku tidak yakin Aini. Aku dulu bisa membaca Alqur’an tetapi aku tidak yakin apakah sekarang masih bisa? Apalagi untuk merawatnya.”
“Tetapi aku yakin, rahma pasti bisa. Kenapa Rahma malah tidak yakin?”
“Hmm.. rasanya, Alqur’an ini terlalu tebal Aini untuk dapat kubaca sampai khatam dan buku ini terlalu tebal untuk dapat ku tulisi sampai akhir halaman dengan waktuku yang tinggal mmenghitung hari. Andai aku bisa hidup seumur dunia  ini.”
 “Aku teringat kata-kata Pramoedya. Beliau mengatakan jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan menulis. Jadi, bisakan?” 
Fikiranku melayang kembali pada masa silam. Seandainya dulu aku berteman dengan Aini. Pasti aku punya kesempatan memiliki sahabat yang sejati.
****
Malam kembali menyapa, kesunyian dan kesendirian mulai menyambutku. Kulihat ibu sedang membereskan alas tidurnya. Kuambil Alqur’an pemberian Aini dan buku catatan harian. Kubuka halaman Al-Qur’an itu dengan asal. Lalu, kubaca. Surat Arrahman
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antaar keduanya ada batass yang tidak dilampui oleh masing-masingnya.maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Dari keduanya keluar mutiara dan merjan. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Dan kepunyaanNYalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan akan tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukkan. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Seusai membaca Ar-rahman, aku merasakan betapa selama ini aku jarang bersyukur. Air mataku pun menetes. Ingin rasanya kuulang semua hari-hariku yang lalu. Begitu besar cintaNya padaku? sedang aku masih terus sibuk mempertanyakan keadilanNya untukku. Allah telah menumbuhkan dengan kasihnya rasa cinta ibu untukku yang dengan itu aku mengerti apa arti keikhlasan. Allah telah mengenalkanku pada penyesalan supaya aku bisa menghargai sebuah kesempatan. Allah telah mengajari aku sakit, yang dengan itu aku merasakan nikmat syukur. Allah telah memberikanku kasih dan sayangNya agar aku mengerti bahwa Allah itu ada.
Batinku terus bergeming menyebut namaNya. Ada getaran yang mengisi kesepian jiwa. Aku merebahkan badanku tapi tidak fikiranku. Perlahan dinamika hidup di masa lalu hadir dan menjadi mozaik kenangan yang terasa begitu singkat. Dan sapaanNya kini telah datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar