Tidakkah yang lain pernah
merasa bimbang, seperti aku yang selalu merasa asing dengan dunia ini.
Tiba-tiba ada yang terlahir dan mati. Tiba-tiba malam dan siang. Tiba-tiba semuanya
begitu saja terjadi. Sedang aku tak tahu apapun. Yang ku tahu hanyalah hatiku
risau dengan diriku sendiri.
Aku menolehkan wajahku ke
arah ibuku. Jelas sangat parasnya kusut. Memandangku dengan kehangatan yang
khas dipancarkannya. Tangannya memegangi album foto itu. Baru kusadari, aku
sangat berarti baginya. Sedang terlalu banyak dosa dan luka yang pernah kubuat
di hatinya.
Teringat dulu, ketika aku
berkata kasar padanya. Marah-marah bukanlah hal asing yang terdengar di telinga
seorang wanita yang begitu tulusnya mengasihiku. Setiap hari ribuan do’a
terucap untukku. Sedang aku? Untuk sekedar 1 kali saja terkadang aku
lupa. Itu semua aku tukar hanya untuk kepentingan pribadiku. Berkumpul dengan
teman-temanku. Yang ku cari hanya tertawa tiada arti. Tak peduli meski mungkin
saudaraku ada yang merintih sakit. Mungkin begitulah, kehidupan ingin
mengajariku rasa sakit.
Aku tahu banyak sekali sesal
yang kuungkapkan pada dunia. Namun, hanya untuk sekedar mengucap maaf pada
ibuku saja terasa sangat sulit. Apalagi berterima kasih padanya. Aku tak tahu,
kenapa aku begitu?.
“Tidurlah putriku, tak usah takut. Ibu tidak
akan beranjak dari sini. Ibu rela tak
tertidur selamanya untuk menjagamu, supaya kau tak takut”, ucap ibuku dengan
iba.
“Bu, aku masih ingat ketika
kecilku ibu pernah menceritakan padaku tentang seorang pria yang dimuliakan.
Lalu cobaan datang padanya. Dia diserang penyakit yang sangat menjijikan hingga
semua harta, istri dan kebahagiaannya yang dulu pergi begitu saja
meninggalkannya. Lalu? yang ku ingat semua itu kembali kan bu. Terangkan padaku
bagaimana selanjutnya. Aku sudah lupa. Bagaimana semua itu kembali, Bu?”,pintaku.
Dengan lembut dan belaian
tangan yang terus meraih wajahku, ibu mulai menceritakannya untukku.
“Pria itu adalah nabi
Ayub. Seorang pria yang sangat sabar dalam menghadapi cobaan hidup.
Baginya sudahlah lebih dari cukup apa yang Allah berikan padanya. Tak lelah dia
berdo’a dan berusaha. Hingga suatu ketika semua penyakit yang dideritanya sembuh.
Seusai dia berwudhu lalu dia berdo’a kepada Tuhannya. Lalu Allah yang maha
pengasih menyembuhkan nabi Ayub.Dan karena keikhlasanya itu, Allah memujinya
sebagai orang yang sabar.”
“Ibu, aku juga ingin sembuh.
Aku ingin berwudhu dan berdo’a seperti nabi Ayub”.
“Ya, tentu nak.”
Lalu, ibu menempelkan
tangannya pada cermin. Debunya ia usapkan pada muka dan tanganku.
“Ibu, aku ingin berwudhu
dengan air yang suci tapi mengapa engkau berikan aku debu?. Apakah karena aku
banyak dosa yah bu? Hingga aku tak boleh berwudhu dengan air yang suci.”
“Tidak anakku, sesungguhnya
Allah itu tidak melihat segala sesuatu dari jenisnya tapi dari niatnya. Memang
betul debu itu kotor tapi dia akan menyucikan manakala kita meniatkannya untuk
bersuci”
Kadang aku merasa heran,
kenapa Tuhan yang begitu sempurnanya masih saja menciptakan manusia. Apakah Tuhan
ingin disembah oleh manusia? lantas mengapa Dia tidak menampakan wujudnya saja
hingga manusia percaya dan menyembahNya? Lalu mengapa Dia perlu menciptakan
Surga dan Neraka? Mengapa semua orang harus mengimaniNya? Mengapa mereka harus
lahir dan kemudian mati? Mengapa Tuhan memilihku untuk sakit seperti ini?
Bencikah Tuhan padaku yang telah banyak berbuat dosa? Inginkah Tuhan melihatku
sengsara sebelum matiku. Lalu apa yang akan terjadi setelah aku mati? Bagaimana
dengan mereka yang pernah aku sakiti hatinya dan menyakiti aku? Akankah
semuanya selesai begitu saja? Sedang alam ini tercipta dengan begitu teratur
dan adilnya. Akankah ini semua adil jika semua yang telah terjadi hanya akan
selesai begitu saja? Bukankah itu semua mustahil? Atau barang kali aku tak
mengerti karena aku tidak pernah mengenal Dia.
“Ibu, ceritakan padaku
tentang siapa itu Tuhan dan siapa itu manusia?”
“Putriku, tak ada yang ingin
ibu dengar selain kata yang telah kau ucapkan tadi. Akan sangat berat beban Ibu
jika tidak menyampaikan risalah islam padamu. Tuhan kita adalah Allah yang
memiliki 99 nama indah. Islam itu artinya adalah selamat karena Tuhan semesta
alam telah menjanjikan keselamatan bagi mereka yang berislam kaffah. Artinya,
mereka yang berislam sesungguh-sungguhnya berislam, menjalankan setiap perintahNya
dan menjauhi segala larangan-laranganNya. Tidaklah mahal untuk bisa diridho’i
Allah, kita cukup dengan ikhlas dan sepenuh hati mengucapkan kalimat syahadat
sebagai langkah awal bagi kita menjadi seorang muslim.”
“Bu, apakah aku pernah
mengucapkan kalimat syahadat itu?”
“Tentu”
“Apakah itu sama
artinya bahwa Tuhan semesta alam telah meridlo’iku dan aku pasti akan
selamat karena aku telah berislam?”
Mendengar kata-kataku itu aku
melihat wajah ibuku bertambah sedih. Aku tidak mengerti mengapa ibu begitu.
“Iya, sekarang kau harus istirahat
ya, biar ibu yang menjagamu disini.”
****
Pagi ini ku kembali
terbangun. Tak ada yang aneh, hari ini aku masih bisa merasakan sinar mentari,
merdunya kicau burung, suara langkah kaki, gemericik air, dan hembusan udara
pagi yang sejuk. Ada ketenangan dan kesunyian. Kali ini aku ingin sejenak
keluar menghirup udara dan menyapa bunga-bunga indah di luar sana. Aku berjalan
sendiri menuju ke taman rumah sakit ini dan ibu pun tak keberatan. Menurut ibu
kebahagiaanku tidak boleh tergadai hanya karena sakit yang kuderita. Itu semua
terlalu mahal untuk dilewatkan.
Kupandangi satu persatu bunga
di taman ini, lalu kuambil sehelai kertas dan kutuliskan sebait puisi di lembar
itu.
Bunga, diam-diam aku iri padamu,
Kau indah dan suci
Hidupmu penuh pahala
Kau hibur hati yang berduka dengan indah dirimu
Kau lambang keindahan dan tempatmu nanti, pasti
tempat mulia…
Selagi aku masih merangkai
bait puisi, terdengar suara seorang wanita menyapaku dari belakang, “Assalamu’alaikum
rahma…”
Sejenak kupandangi sosok
wanita yang tengah berdiri dan tersenyum padaku. Aku yakin aku mengenalnya di
sekolah. Anak yang dulu sangat kubenci karena gayanya yang sok alim. Sudah
cukup sering juga aku dan gang-ku mengolok-olok dan menyindirnya setiap kali dia
dan sekelompok siswi jilbaber lewat di sekitar kami.
“Kau anak rohis itu kan?”
“Iya, namaku aini.” Aini
mengulurkan tangannya.
“Kamu mau menemui siapa?
Keluargamu ada yang dirawat disini?” Aku membalas uluran tangannya.
“Tidak. Aku kesini mewakili
anak-anak yang lain ingin menjenguk rahma”
“Menjengukku?”
Padahal teman-teman yang
mengaku sahabat sejatiku, tak ada yang berani dekat-dekat denganku lagi hanya
karena aku terkena penyakit mematikan dan hidupku tinggal menghitung hari.
Teman-teman yang dulu kupikir akan selamanya menjadi temanku.
“Rahma?” panggil Aini.
“Terimakasih yah”
Aini tersenyum, “Rahma, mohon
maaf sebelumnya. Sebenarnya, aku kesini selain ingin menjenguk juga ingin memberikan
sesuatu.”
“Apa?”
“Alqur’an dan buku catatan
harian ini padamu. Aku percaya rahma tidak akan membiarkan buku ini sia-sia
belaka ” lagi-lagi Aini tersenyum.
“Tetapi aku tidak yakin Aini.
Aku dulu bisa membaca Alqur’an tetapi aku tidak yakin apakah sekarang masih
bisa? Apalagi untuk merawatnya.”
“Tetapi aku yakin, rahma
pasti bisa. Kenapa Rahma malah tidak yakin?”
“Hmm.. rasanya, Alqur’an ini
terlalu tebal Aini untuk dapat kubaca sampai khatam dan buku ini terlalu tebal
untuk dapat ku tulisi sampai akhir halaman dengan waktuku yang tinggal
mmenghitung hari. Andai aku bisa hidup seumur dunia ini.”
“Aku teringat kata-kata Pramoedya. Beliau
mengatakan jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan
menulis. Jadi, bisakan?”
Fikiranku melayang kembali
pada masa silam. Seandainya dulu aku berteman dengan Aini. Pasti aku punya
kesempatan memiliki sahabat yang sejati.
****
Malam kembali menyapa,
kesunyian dan kesendirian mulai menyambutku. Kulihat ibu sedang membereskan
alas tidurnya. Kuambil Alqur’an pemberian Aini dan buku catatan harian. Kubuka
halaman Al-Qur’an itu dengan asal. Lalu, kubaca. Surat Arrahman
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang
keduanya kemudian bertemu. Antaar keduanya ada batass yang tidak dilampui oleh
masing-masingnya.maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Dari
keduanya keluar mutiara dan merjan. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?. Dan kepunyaanNYalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan
laksana gunung-gunung. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?.
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan akan tetap kekal zat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadaNya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukkan. maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?
Seusai membaca Ar-rahman, aku
merasakan betapa selama ini aku jarang bersyukur. Air mataku pun menetes. Ingin
rasanya kuulang semua hari-hariku yang lalu. Begitu besar cintaNya padaku?
sedang aku masih terus sibuk mempertanyakan keadilanNya untukku. Allah telah
menumbuhkan dengan kasihnya rasa cinta ibu untukku yang dengan itu aku mengerti
apa arti keikhlasan. Allah telah mengenalkanku pada penyesalan supaya aku bisa
menghargai sebuah kesempatan. Allah telah mengajari aku sakit, yang dengan itu
aku merasakan nikmat syukur. Allah telah memberikanku kasih dan sayangNya agar
aku mengerti bahwa Allah itu ada.
Batinku terus bergeming
menyebut namaNya. Ada getaran yang mengisi kesepian jiwa. Aku merebahkan
badanku tapi tidak fikiranku. Perlahan dinamika hidup di masa lalu hadir dan
menjadi mozaik kenangan yang terasa begitu singkat. Dan sapaanNya kini telah
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar