Laman

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pembuktian di Jalan Berkelok



Udara masih hilir mudik menyesaki ruangan persegi yang dihirup sepuasnya oleh dua orang perempuan beda usia yang terduduk memandangi tubuh lelaki yang terlihat mengibakan dengan selang oksigen yang menyumbat hidungnya. Atmosfer yang tercipta begitu tenang tapi tidak dengan perhelatan prasangka yang bermain dalam pikiran masing-masing.
“Bu, Ayah kapan sadar? Ayah bilang akan membawaku ikut ke bulan di hari ulang tahunku.” Gadis kecil itu menggoyangkan tubuh ibunya.
Praktis tak ada jawaban selain senyuman yang dipaksakan. Wanita itu tahu anaknya belum sampai memahami apa arti kata kritis.
“Ulang tahunku kapan Bu?” Tanyanya lagi. Bola matanya berganti-ganti memandang wajah ibu dan ayahnya.
“Masih satu minggu lagi. Kita pergi ke tempat wisata saja yah.” Kata ibunya meski dia tidak yakin dia akan benar-benar memiliki waktu untuk mengajak si kecil Yasmin untuk sekedar berjalan-jalan.
Gadis yang hampir enam tahun itu mengangguk-angguk saja.
Beberapa saat kemudian terdengar pintu diketuk. Yasmin dengan semangat berlari ke arah pintu. Baginya lari adalah hal yang menyenangkan. Dia bisa merasakan angin lebih dekat dengannya.
“Profesor Paul.” Sapanya.
Pria itu mengangkat tubuh kecil Yasmin sembari tersenyum.
“Profesor.” Nyonya Ros berdiri dan mempersilakan tamunya untuk duduk.
Mereka duduk sejajar menatap tubuh Toni.
“Sebenarnya apa benar yang belakangan dia takuti, professor?” Rosa membuka permbicaraan dengan pertanyaan.
Lelaki beruban yang telah kehilangan separuh rambutnya itu memandang tubuh yang tergolek di atas ranjang. Kedua alisnya mengerut.
“Apa kau percaya?” Profesor berbalik bertanya.
Wanita itu menunduk hingga dahinya menyentuh kepala Yasmin.
“Aku menyesal tidak mempercayainya. Kami sempat terlibat adu mulut karena masalah ini. Sebenarnya aku bosan mendengarnya menceritakan itu berkali-kali dengan wajah seperti orang ketakutan.”, Rosa menghela nafasnya. “Dia bahkan seperti tak peduli pada Yasmin. Dia terlalu takut dan hanya sibuk dengan ketakutannya sendiri. Dia sungguh berubah, Profesor.”
“Dia pasti mengalami shock yang berat.”
“Profesor, apa pendapat anda tentang makhluk yang mengintainya? Kurasa Toni terlalu mengada-ada. Itu nonsense bukan? Dan lagi aku tidak pernah melihatnya.”
“Sebenarnya aku sendiri memang pernah merasakan kehadirannya. Tapi sungguh tidak pernah benar-benar melihatnya. Aku justru sangat berharap bisa melihatnya dengan mataku agar aku benar-benar bisa membuat hipotesa.”
Ros memandang Profesor Paul dengan pandangan tajam.
“Jika dia sudah pulih, aku akan membawanya ke Indonesia. Aku ingin dia berhenti menjadi astronot. Aku tidak suka pekerjaannya.”
Profesor Paul mengernyitkan dahinya, “Rosa, pikirkan masak-masak.”
“Aku bahkan sudah membuat rencana untuk hidup kami di sana.”
Profesor Paul membuang pandangannya ke luar jendela.
“Kemanapun, Ros. Jika yang dikatakan Toni benar, dia tidak akan pernah bisa tenang”, Lelaki itu berdiri dan mengenakan kembali topinya.
“Profesor, kau mau pergi?” Si kecil Yasmin seolah merasa tak ingin tamunya itu pergi.
“Lusa professor pasti berkunjung lagi dan akan membawakan bola luar angkasa untukmu. Kau akan bisa menggenggam bulan dengan bola itu.”
Yasmin tersenyum. Wajahnya berseri membayangkan mainan baru yang dijanjikan professor Paul. Dia tahu lelaki tua itu tidak akan berbohong. Gadis itu sudah berkali-kali membuktikannya.
“Aku tidak akan menghentikan penelitianku untuk membantu suamimu. Aku juga sudah menghubungi beberapa ahli untuk membantuku. Jadi kuharap kau untuk tenang. Tapi Ros, satu hal yang pasti. Toni membutuhkanmu.”
Rosa mengangguk. “Terima kasih, Profesor.”
“Aku pergi dulu. Yasmin, sampai jumpa lusa.”
“Dengan bola ajaib bukan?”
Profesor Paul tertawa. Pria itu meninggalkan kamar rawat. Bersamaan dengan kedatangan seorang suster untuk mendata keadaan Toni.
***
Tak terasa matahari sudah raib. Rosa dan Yasmin masih di ruang kamar rumah sakit. Bagi Rosa kini waktu benar-benar berjalan memutar terhitung sejak suaminya dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan di jalan sunyi menuju rumah professor Paul. Dari jam ke jam tak ada hal berbeda yang dia lakukan selain terduduk menemani Toni. Matanya seakan susah untuk menutup. Wanita itu mengelus tubuh Yasmin yang terlelap dengan mulut terbuka di pangkuannya.
“Aku akan menolongmu, suamiku. Aku akan menemukan makhluk yang kau takuti itu. Dia tidak punya hak untuk membuat hidup kita menjadi sepi begini. Aku janji dengan nama Yasmin.”
Dengan pelan dan hati-hati Rosa memindahkan kepala Yasmin dari pangkuannya. Wanita berambut menggelombang itu mengenakan jaket dan meraih tasnya. Pelan dia membuka pintu dan berjalan cepat menghindari tetesan gerimis yang tumpah dari langit menuju parkiran. Wanita itu menghela nafas seolah membuang kepanikan yang menyumbat di dadanya.
“Semua harus diselesaikan.” Rosa menggumam pada dirinya sendiri.
Rosa menyalakan mesin mobilnya dan mengemudikannya. Jalanan sangat sepi. Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. “Dua belas kurang sepuluh menit.”
Rupanya tetesan gerimis makin lama bertambah deras hingga membentuk tetes-tetesan air yang lebih pantas disebut hujan deras. Rosa mengaktifkan wiper mobilnya dan memandang dengan lebih seksama. Wanita itu sengaja mengambil arah yang sama yang dilalui suaminya saat kecelakaan.
“Aku tidak takut pada apapun.”
Rosa meningkatkan kecepatan laju mobilnya. Suara hujan yang beradu dengan mobilnya terdengar berisik.
“Toni, Yasmin… Aku mencintai kalian.”
Rosa masih mengemudikan mobilnya. Matanya terasa pedih dan pegal luar biasa. Sesekali bayangan wajah ketakutan Toni muncul di bayangannya.
“Dia mengerikan Ros. Percayalah. Aku merasa dia mencurigaiku.” Toni berbicara dengan mata berkaca-kaca dan tangan gemetar.
“Itu halusinasimu, Toni. Ayolah, aku sudah bosan berkali-kali mendengar keluhan yang sama. Lebih baik kita fikirkan rencana ulang tahun Yasmin. Dua minggu lagi sayang dan setiap hari dia menagih janjimu yang juga tidak masuk akal.”
“Ros, kau harus percaya!” Toni berbicara dengan volume tinggi. Rosa mendelik, dia merasa berada pada klimaks kejenuhannya.
“Kalau kau percaya alien itu ada, silakan. Tapi jangan kau jadikan aku dan Yasmin sebagai korbannya. Dengar Ton, aku bahkan akan mengajukan cerai jika kau tidak berubah. Yasmin dan aku butuh lelaki yang mengayomi kami.”
“Tapi sorot matanya seolah akan membunuhku, Ros! Aku takut. Profesor Paul tidak bisa membantuku selain dengan nasihatnya yang tidak berarti.”
“Toni, kumohon. Berhenti membicarakan makhluk asing itu. Kalaupun ada, bagaimana mungkin aku dan Yasmin atau orang-orang yang disekelilingmu tidak melihatnya.”
“Itulah Ros. Ingat dengan teori relativisme hanya sedikit materi di jagat raya ini dan yang lainnya? Misteri. Aku takut dia akan menemuiku lagi. Dia menginginkan nyawaku Ros. Aku tahu.”
Rosa memejamkan matanya kuat-kuat seolah ingin melenyapkan perdebatan itu.
“Sebaiknya besok kita pergi ke psikolog saja. Aku yakin kau tidak waras lagi!”
“Hahh!” Toni keluar kamar dan membanting pintu.
Rosa menggelengkan kepalanya tak percaya dengan semua kata-kata yang pernah dikatakan pada suaminya. Dalam hati dia memaki dirinya sendiri yang bersikap tidak dewasa.
“Harusnya aku melakukan sesuatu untukmu dari pada harus mengeluarkan kata-kata amarah diluar kendaliku.”
Rosa memejamkan matanya sejenak. Dan seketika itu juga dia teringat pada kata-kata Yasmin. Kata-kata yang dianggapnya hanya omong kosong anak-anak.
“Hewan apa yang tadi ada di kamar ibu?”
Rosa mengernyitkan dahi lalu mengecek kamarnya. Tak ada apapun. Lalu dia kembali pada aktivitasnya menulis buku.
Rosa masih melaju. Kali ini kecepatannya dikurangi melewati jalanan curam yang berkelok-kelok. Matanya menatap ke depan disebalik wiper mobilnya. Diantara rasa kantuk dan sadarnya dia meruncingkan matanya dan terus berkonsentrasi dengan apa yang dilihatnya. Tiba-tiba jantungnya berasa berdetak semakin kencang dan matanya mendelik tak percaya. Mulutnya terbuka dan menjerit histeris. Laju arah mobil tak lagi bisa dia kendalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar