Udara
masih hilir mudik menyesaki ruangan persegi yang dihirup sepuasnya oleh dua
orang perempuan beda usia yang terduduk memandangi tubuh lelaki yang terlihat
mengibakan dengan selang oksigen yang menyumbat hidungnya. Atmosfer yang
tercipta begitu tenang tapi tidak dengan perhelatan prasangka yang bermain
dalam pikiran masing-masing.
“Bu,
Ayah kapan sadar? Ayah bilang akan membawaku ikut ke bulan di hari ulang
tahunku.” Gadis kecil itu menggoyangkan tubuh ibunya.
Praktis
tak ada jawaban selain senyuman yang dipaksakan. Wanita itu tahu anaknya belum
sampai memahami apa arti kata kritis.
“Ulang
tahunku kapan Bu?” Tanyanya lagi. Bola matanya berganti-ganti memandang wajah
ibu dan ayahnya.
“Masih
satu minggu lagi. Kita pergi ke tempat wisata saja yah.” Kata ibunya meski dia
tidak yakin dia akan benar-benar memiliki waktu untuk mengajak si kecil Yasmin
untuk sekedar berjalan-jalan.
Gadis
yang hampir enam tahun itu mengangguk-angguk saja.
Beberapa
saat kemudian terdengar pintu diketuk. Yasmin dengan semangat berlari ke arah
pintu. Baginya lari adalah hal yang menyenangkan. Dia bisa merasakan angin
lebih dekat dengannya.
“Profesor
Paul.” Sapanya.
Pria
itu mengangkat tubuh kecil Yasmin sembari tersenyum.
“Profesor.”
Nyonya Ros berdiri dan mempersilakan tamunya untuk duduk.
Mereka
duduk sejajar menatap tubuh Toni.
“Sebenarnya
apa benar yang belakangan dia takuti, professor?” Rosa membuka permbicaraan
dengan pertanyaan.
Lelaki
beruban yang telah kehilangan separuh rambutnya itu memandang tubuh yang
tergolek di atas ranjang. Kedua alisnya mengerut.
“Apa
kau percaya?” Profesor berbalik bertanya.
Wanita
itu menunduk hingga dahinya menyentuh kepala Yasmin.
“Aku
menyesal tidak mempercayainya. Kami sempat terlibat adu mulut karena masalah ini.
Sebenarnya aku bosan mendengarnya menceritakan itu berkali-kali dengan wajah
seperti orang ketakutan.”, Rosa menghela nafasnya. “Dia bahkan seperti tak
peduli pada Yasmin. Dia terlalu takut dan hanya sibuk dengan ketakutannya
sendiri. Dia sungguh berubah, Profesor.”
“Dia
pasti mengalami shock yang berat.”
“Profesor,
apa pendapat anda tentang makhluk yang mengintainya? Kurasa Toni terlalu
mengada-ada. Itu nonsense bukan? Dan lagi aku tidak pernah melihatnya.”
“Sebenarnya
aku sendiri memang pernah merasakan kehadirannya. Tapi sungguh tidak pernah
benar-benar melihatnya. Aku justru sangat berharap bisa melihatnya dengan
mataku agar aku benar-benar bisa membuat hipotesa.”
Ros
memandang Profesor Paul dengan pandangan tajam.
“Jika
dia sudah pulih, aku akan membawanya ke Indonesia. Aku ingin dia berhenti
menjadi astronot. Aku tidak suka pekerjaannya.”
Profesor
Paul mengernyitkan dahinya, “Rosa, pikirkan masak-masak.”
“Aku
bahkan sudah membuat rencana untuk hidup kami di sana.”
Profesor
Paul membuang pandangannya ke luar jendela.
“Kemanapun,
Ros. Jika yang dikatakan Toni benar, dia tidak akan pernah bisa tenang”, Lelaki
itu berdiri dan mengenakan kembali topinya.
“Profesor,
kau mau pergi?” Si kecil Yasmin seolah merasa tak ingin tamunya itu pergi.
“Lusa
professor pasti berkunjung lagi dan akan membawakan bola luar angkasa untukmu.
Kau akan bisa menggenggam bulan dengan bola itu.”
Yasmin
tersenyum. Wajahnya berseri membayangkan mainan baru yang dijanjikan professor
Paul. Dia tahu lelaki tua itu tidak akan berbohong. Gadis itu sudah
berkali-kali membuktikannya.
“Aku
tidak akan menghentikan penelitianku untuk membantu suamimu. Aku juga sudah
menghubungi beberapa ahli untuk membantuku. Jadi kuharap kau untuk tenang. Tapi
Ros, satu hal yang pasti. Toni membutuhkanmu.”
Rosa
mengangguk. “Terima kasih, Profesor.”
“Aku
pergi dulu. Yasmin, sampai jumpa lusa.”
“Dengan
bola ajaib bukan?”
Profesor
Paul tertawa. Pria itu meninggalkan kamar rawat. Bersamaan dengan kedatangan
seorang suster untuk mendata keadaan Toni.
***
Tak
terasa matahari sudah raib. Rosa dan Yasmin masih di ruang kamar rumah sakit.
Bagi Rosa kini waktu benar-benar berjalan memutar terhitung sejak suaminya
dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan di jalan sunyi menuju rumah
professor Paul. Dari jam ke jam tak ada hal berbeda yang dia lakukan selain
terduduk menemani Toni. Matanya seakan susah untuk menutup. Wanita itu mengelus
tubuh Yasmin yang terlelap dengan mulut terbuka di pangkuannya.
“Aku
akan menolongmu, suamiku. Aku akan menemukan makhluk yang kau takuti itu. Dia
tidak punya hak untuk membuat hidup kita menjadi sepi begini. Aku janji dengan
nama Yasmin.”
Dengan
pelan dan hati-hati Rosa memindahkan kepala Yasmin dari pangkuannya. Wanita
berambut menggelombang itu mengenakan jaket dan meraih tasnya. Pelan dia
membuka pintu dan berjalan cepat menghindari tetesan gerimis yang tumpah dari
langit menuju parkiran. Wanita itu menghela nafas seolah membuang kepanikan
yang menyumbat di dadanya.
“Semua
harus diselesaikan.” Rosa menggumam pada dirinya sendiri.
Rosa
menyalakan mesin mobilnya dan mengemudikannya. Jalanan sangat sepi. Dilihatnya
jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. “Dua belas kurang sepuluh
menit.”
Rupanya
tetesan gerimis makin lama bertambah deras hingga membentuk tetes-tetesan air
yang lebih pantas disebut hujan deras. Rosa mengaktifkan wiper mobilnya dan
memandang dengan lebih seksama. Wanita itu sengaja mengambil arah yang sama
yang dilalui suaminya saat kecelakaan.
“Aku
tidak takut pada apapun.”
Rosa
meningkatkan kecepatan laju mobilnya. Suara hujan yang beradu dengan mobilnya
terdengar berisik.
“Toni,
Yasmin… Aku mencintai kalian.”
Rosa
masih mengemudikan mobilnya. Matanya terasa pedih dan pegal luar biasa.
Sesekali bayangan wajah ketakutan Toni muncul di bayangannya.
“Dia
mengerikan Ros. Percayalah. Aku merasa dia mencurigaiku.” Toni berbicara dengan
mata berkaca-kaca dan tangan gemetar.
“Itu
halusinasimu, Toni. Ayolah, aku sudah bosan berkali-kali mendengar keluhan yang
sama. Lebih baik kita fikirkan rencana ulang tahun Yasmin. Dua minggu lagi
sayang dan setiap hari dia menagih janjimu yang juga tidak masuk akal.”
“Ros,
kau harus percaya!” Toni berbicara dengan volume tinggi. Rosa mendelik, dia
merasa berada pada klimaks kejenuhannya.
“Kalau
kau percaya alien itu ada, silakan. Tapi jangan kau jadikan aku dan Yasmin
sebagai korbannya. Dengar Ton, aku bahkan akan mengajukan cerai jika kau tidak
berubah. Yasmin dan aku butuh lelaki yang mengayomi kami.”
“Tapi
sorot matanya seolah akan membunuhku, Ros! Aku takut. Profesor Paul tidak bisa
membantuku selain dengan nasihatnya yang tidak berarti.”
“Toni,
kumohon. Berhenti membicarakan makhluk asing itu. Kalaupun ada, bagaimana
mungkin aku dan Yasmin atau orang-orang yang disekelilingmu tidak melihatnya.”
“Itulah
Ros. Ingat dengan teori relativisme hanya sedikit materi di jagat raya ini dan
yang lainnya? Misteri. Aku takut dia akan menemuiku lagi. Dia menginginkan
nyawaku Ros. Aku tahu.”
Rosa
memejamkan matanya kuat-kuat seolah ingin melenyapkan perdebatan itu.
“Sebaiknya
besok kita pergi ke psikolog saja. Aku yakin kau tidak waras lagi!”
“Hahh!”
Toni keluar kamar dan membanting pintu.
Rosa
menggelengkan kepalanya tak percaya dengan semua kata-kata yang pernah
dikatakan pada suaminya. Dalam hati dia memaki dirinya sendiri yang bersikap
tidak dewasa.
“Harusnya
aku melakukan sesuatu untukmu dari pada harus mengeluarkan kata-kata amarah
diluar kendaliku.”
Rosa
memejamkan matanya sejenak. Dan seketika itu juga dia teringat pada kata-kata
Yasmin. Kata-kata yang dianggapnya hanya omong kosong anak-anak.
“Hewan
apa yang tadi ada di kamar ibu?”
Rosa
mengernyitkan dahi lalu mengecek kamarnya. Tak ada apapun. Lalu dia kembali
pada aktivitasnya menulis buku.
Rosa
masih melaju. Kali ini kecepatannya dikurangi melewati jalanan curam yang
berkelok-kelok. Matanya menatap ke depan disebalik wiper mobilnya. Diantara
rasa kantuk dan sadarnya dia meruncingkan matanya dan terus berkonsentrasi
dengan apa yang dilihatnya. Tiba-tiba jantungnya berasa berdetak semakin
kencang dan matanya mendelik tak percaya. Mulutnya terbuka dan menjerit
histeris. Laju arah mobil tak lagi bisa dia kendalikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar