Kelahiran
menjadi hal yang berasa sama dengan kematian. Persis karena keduanya membuat
kita tidak percaya. Karenanya air mata tak mampu dibendung. Ketika dua waktu
itu tiba terasa nyata dunia ini memang sandiwara. Semua punya peranan dan semua
punya gajinya. Aku masih merenung dari pojokan rumah yang baru kukontrak belum
lama ketika aku mengingat begitu cepat waktu berlalu dan kembali memutar otakku
tentang kisah dibalik hidup dan mati. Tiba-tiba terasa semua warna pudar dari tubuhnya
dan menjelma menjadi kain transparan berbalut hujan. Ingin diterka tapi masih
ada butiran yang membuatnya kabur.
Langkah
kecil yang tidak pernah mungkin akan terdengar. Sebuah jejak yang akan
menorehkan kisahnya telah dikhianati oleh norma yang pengap. Aku memang busuk
tapi aku begini dengan sendirinya. Jiwaku disiram oleh zat yang disebut norma
dan nilai-nilai tapi seperti pupuk kandang aku baru menyadari sekarang aku
bukan tanaman. Aku tumbuh seperti akar pupuk kandang.
Asap
itu mengepul dari atas lubang cerutu. Membungkam wanita bergelung yang matanya
masih basah. Lelaki itu berwajah keruh seperti cairan nista yang menjadikanku.
Kedua tangannya menggenggam erat seakan mengumpulkan tenaga untuk meninju.
Jelas aku yang akan terkena sasarannya.
“Anak
sialan! Tega kamu mencoreng wajah bapakmu? Begini caramu berterimakasih?”
Ayahku berteriak. Tetangga tentu dapat dengan mudah mencuri dengar.
Menit-menit
kesunyian membungkus keheningan malam tanpa bintang. Wajah ibu masih murung
seolah tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ibu tak pernah begitu, dia selalu
tahu harus bagaimana.
“Gugurkan!”
Satu
kata dari seorang ayah yang menjadikan dirinya raja di rumahnya. Aku masih
mematung. Aku bingung karena sekarang tidak ada Virgo. Dia berjanji akan
membawaku kabur keluar dari kungkungan ini. Warna kami berbeda tapi dibalik itu
siapa yang mampu menghentikan energi cinta. Siapa? Apa yang salah dari nama
Yesus? Ingin aku bertanya keras menyentuh genderang para tetua. Dengarlah, aku
cuma ingin bahagia.
Bibirku
terasa semakin kelu. Bukankah Virgo sudah menjelaskan kita akan menikah. Apa
yang salah jika aku menikah dan membiarkannya hidup.
Lelaki
bercerutu itu berdiri dan menamparku sebelum pergi. Ibuku menjerit dan kini
tangisnya pecah terisak. Langkahnya sempoyongan menyentuhku yang sudah roboh.
Berjuang membangkitkan tubuhku yang mulai menyerah.
Bibirku
tersungging kembali menatap ruang kosong rumah kontrakanku. Seakan terlalu
penat memikirkan kerumitan ini. Apa yang salah jika aku jatuh cinta pada dia
yang berbeda warna? Apakah aku terkutuk jika cinta bisa menatap dua warna
menjadi melodi yang membiarkannya tinggal tanpa melebur.
Bayanganku
berputar lebih jauh dari hari pahit itu. Aku sempat merasakan manis sebelum
akhirnya ladang berubah menjadi labirin hanya dalam hitungan menit. Yah, kami
berjumpa di malam berhujan. Aku tak peduli apa yang dia anut begitu pun dia.
Kami berjumpa dan menjadi seorang teman. Hanya teman meski hatiku melompat
girang mencium aroma feromon yang menyengat memenuhi ruang harapanku.
“J
& V.”
Simbol
itu pernah menjadi hal yang terlalu manis. Virgo mengatakan dia nyaman
denganku. Terlalu banyak waktu yang habis dengan saling bertatap. Menyusun
mimpi bersama dibalik sebuah rencana masa depan. Aku salut dia memiliki
pemikiran yang matang. Jujur itu semakin membuatku terikat dibawah naungannya.
Setiap minggu aku menunggunya di luar gereja dengan membawakan keranjang berisi
makanan untuk piknik. Saat bulan ramadhan tiba kami menghabiskan malam fajar
berdua. Dia mendengarkanku bercerita tentang semua yang kutahu tentang Allah.
Aku pun sebaliknya. Kami merasa tak ada yang salah. Sama sekali tak ada.
Pikiran kami terbuka dan keyakinan bukanlah sebuah warisan. Itu saja yang kami
yakini.
Aku
tersenyum lagi menatap dinding tanpa pigura yang menempel. Dari ujung pelupuk
yang tergenang harapanku luntur menjelma menjadi tetesan yang disebut air mata.
Namun aku merasa kering.
Ingin
aku berteriak dan memutar waktu. Aku akan berontak. Biar saja aku dipandang
hina tetap akan aku teriakan aku seorang ibu.
Hujan
hari itu sangat deras. Sama sekali tidak berasa sejuk atau dingin yang
lumrahnya. Aku memohon di depan kakinya tapi tak ada jawaban. Seseorang
mengetuk pintu dan Ani, pembantu kami berduyun membukakan pintu lantas
lekas-lekas menutup pintunya. Seorang wanita paruh baya dengan tas dan
peralatannya memandangku dengan wajah jijik. Ingin aku terangkan betapa
pekerjaannya jauh lebih menjijikan.
Ibuku
memelukku dan terus berbisik dengan kata yang tak mampu kuterjemahkan.
Isakannya terlalu ruah. Tanganku merabanya yang tenang di dalam perlindungan
badanku. Seakan darahku mengalirkan pesan untuknya. Memberitahunya selekas
mungkin bahwa aku menginginkannya. Tapi tak seorang pun berpihak padaku. Aku
terlalu kacau untuk bisa melawan. Tubuhku dituntun menuju kamar. Aku menjerit
karena lukanya dan sakitnya menghayalkan wajah mungilnya mengiba memintaku
menyelamatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar