Laman

Sabtu, 16 Agustus 2014

Beri Ruang!



Kelahiran menjadi hal yang berasa sama dengan kematian. Persis karena keduanya membuat kita tidak percaya. Karenanya air mata tak mampu dibendung. Ketika dua waktu itu tiba terasa nyata dunia ini memang sandiwara. Semua punya peranan dan semua punya gajinya. Aku masih merenung dari pojokan rumah yang baru kukontrak belum lama ketika aku mengingat begitu cepat waktu berlalu dan kembali memutar otakku tentang kisah dibalik hidup dan mati. Tiba-tiba terasa semua warna pudar dari tubuhnya dan menjelma menjadi kain transparan berbalut hujan. Ingin diterka tapi masih ada butiran yang membuatnya kabur.
Langkah kecil yang tidak pernah mungkin akan terdengar. Sebuah jejak yang akan menorehkan kisahnya telah dikhianati oleh norma yang pengap. Aku memang busuk tapi aku begini dengan sendirinya. Jiwaku disiram oleh zat yang disebut norma dan nilai-nilai tapi seperti pupuk kandang aku baru menyadari sekarang aku bukan tanaman. Aku tumbuh seperti akar pupuk kandang.
Asap itu mengepul dari atas lubang cerutu. Membungkam wanita bergelung yang matanya masih basah. Lelaki itu berwajah keruh seperti cairan nista yang menjadikanku. Kedua tangannya menggenggam erat seakan mengumpulkan tenaga untuk meninju. Jelas aku yang akan terkena sasarannya.
“Anak sialan! Tega kamu mencoreng wajah bapakmu? Begini caramu berterimakasih?” Ayahku berteriak. Tetangga tentu dapat dengan mudah mencuri dengar.
Menit-menit kesunyian membungkus keheningan malam tanpa bintang. Wajah ibu masih murung seolah tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ibu tak pernah begitu, dia selalu tahu harus bagaimana.
“Gugurkan!”
Satu kata dari seorang ayah yang menjadikan dirinya raja di rumahnya. Aku masih mematung. Aku bingung karena sekarang tidak ada Virgo. Dia berjanji akan membawaku kabur keluar dari kungkungan ini. Warna kami berbeda tapi dibalik itu siapa yang mampu menghentikan energi cinta. Siapa? Apa yang salah dari nama Yesus? Ingin aku bertanya keras menyentuh genderang para tetua. Dengarlah, aku cuma ingin bahagia.
Bibirku terasa semakin kelu. Bukankah Virgo sudah menjelaskan kita akan menikah. Apa yang salah jika aku menikah dan membiarkannya hidup.
Lelaki bercerutu itu berdiri dan menamparku sebelum pergi. Ibuku menjerit dan kini tangisnya pecah terisak. Langkahnya sempoyongan menyentuhku yang sudah roboh. Berjuang membangkitkan tubuhku yang mulai menyerah.
Bibirku tersungging kembali menatap ruang kosong rumah kontrakanku. Seakan terlalu penat memikirkan kerumitan ini. Apa yang salah jika aku jatuh cinta pada dia yang berbeda warna? Apakah aku terkutuk jika cinta bisa menatap dua warna menjadi melodi yang membiarkannya tinggal tanpa melebur.
Bayanganku berputar lebih jauh dari hari pahit itu. Aku sempat merasakan manis sebelum akhirnya ladang berubah menjadi labirin hanya dalam hitungan menit. Yah, kami berjumpa di malam berhujan. Aku tak peduli apa yang dia anut begitu pun dia. Kami berjumpa dan menjadi seorang teman. Hanya teman meski hatiku melompat girang mencium aroma feromon yang menyengat memenuhi ruang harapanku.
“J & V.”
Simbol itu pernah menjadi hal yang terlalu manis. Virgo mengatakan dia nyaman denganku. Terlalu banyak waktu yang habis dengan saling bertatap. Menyusun mimpi bersama dibalik sebuah rencana masa depan. Aku salut dia memiliki pemikiran yang matang. Jujur itu semakin membuatku terikat dibawah naungannya. Setiap minggu aku menunggunya di luar gereja dengan membawakan keranjang berisi makanan untuk piknik. Saat bulan ramadhan tiba kami menghabiskan malam fajar berdua. Dia mendengarkanku bercerita tentang semua yang kutahu tentang Allah. Aku pun sebaliknya. Kami merasa tak ada yang salah. Sama sekali tak ada. Pikiran kami terbuka dan keyakinan bukanlah sebuah warisan. Itu saja yang kami yakini.
Aku tersenyum lagi menatap dinding tanpa pigura yang menempel. Dari ujung pelupuk yang tergenang harapanku luntur menjelma menjadi tetesan yang disebut air mata. Namun aku merasa kering.
Ingin aku berteriak dan memutar waktu. Aku akan berontak. Biar saja aku dipandang hina tetap akan aku teriakan aku seorang ibu.
Hujan hari itu sangat deras. Sama sekali tidak berasa sejuk atau dingin yang lumrahnya. Aku memohon di depan kakinya tapi tak ada jawaban. Seseorang mengetuk pintu dan Ani, pembantu kami berduyun membukakan pintu lantas lekas-lekas menutup pintunya. Seorang wanita paruh baya dengan tas dan peralatannya memandangku dengan wajah jijik. Ingin aku terangkan betapa pekerjaannya jauh lebih menjijikan.
Ibuku memelukku dan terus berbisik dengan kata yang tak mampu kuterjemahkan. Isakannya terlalu ruah. Tanganku merabanya yang tenang di dalam perlindungan badanku. Seakan darahku mengalirkan pesan untuknya. Memberitahunya selekas mungkin bahwa aku menginginkannya. Tapi tak seorang pun berpihak padaku. Aku terlalu kacau untuk bisa melawan. Tubuhku dituntun menuju kamar. Aku menjerit karena lukanya dan sakitnya menghayalkan wajah mungilnya mengiba memintaku menyelamatkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar