Laman

Sabtu, 16 Agustus 2014

Matinya Tiga Dewa



Matinya Tiga Dewa
Langit masih sangat gelap ketika aku terbangun untuk menilik jendela. Di atas langit sana seperti ada yang murka. Halilintar menyambar begitu mengerikan. Dengan tangan kanan kuelus dadaku sedikit menenangkannya. Kemudian merebahkan kembali perut yang gendut. Mungkin karena angin tubuhku begini. Di dapur tak kutemui daging ataupun ikan yang sewajarnya menambah lemak di perutku. Badanku yang lain pun seperti tulang saja berbalut kulit yang kendur. Tak ada yang kusuka selain mataku yang bening. Barang kali karena setiap hari rajin kucuci dengan air yang tak perlu uang untuk membayar atau tenaga untuk menyiduknya. Mataku yang tercinta masih terjaga dan terbuka. Aku mencucinya lagi. Nikmatnya, karena masih ada air mata dan air hujan yang ramah dengan orang sepertiku. Kubiarkan saja rembesan air hujan itu menyapu wajahku. Meluncur dari genting yang sedikit retak. Terasa pula tangan anak-anak angin yang dingin. Masuk melalui lubang pori-pori dan bergaul dengan darahku yang mendidih, barang kali karena takut.
Jaring laba-laba mengingatkanku pada sosok ibu yang nyala matanya seperti tak pernah gentar. Dia kuat seperti laba-laba. Membangun rumah berlindung dan tak ragu meski mata musuh tengah menatapnya sinis. Seperti tidak kunjung puas dan lelah tetap merajut. Aku mulai merindukan mata yang tegar itu. Mata yang pernah menceritakan padaku tentang tiga dewa.
“Kau percaya pada dewa?” tanyanya di tengah malam yang gelap. Cahaya samar-samar yang dihasilkan dari sumbu yang terbakar membantuku menangkap bayangannya.
Aku termenung mengingat sebuah nama itu, yah dewa.
“Jadi kau percaya yah?”
Ibu memiringkan badannya menghadap tubuhku yang tengah menatap sarang laba-laba. Malam selalu sepi saat hujan tidak mampir. Tapi ibu selalu membenci hujan dan petir. Karena petir pula yang membawa kabur ayah yang penakut.
“Apa kau percaya jika kau adalah anak dewa.”
Kalimatnya menjadi mengagumkan di telingaku. Mataku menatapnya sungguh-sungguh seperti mencari kebenarannya. Anak dewa adalah hal yang baru kudengar sepanjang usiaku.
“Apa aku pernah berbohong padamu?”
Aku menggeleng.
“Dewa pertama begitu kuatnya. Tapi dia kejam dan membuang setiap anak-anaknya yang terlahir.”
Seketika keningku mengerut. Begitu kejam dan mengerikan, pikirku saat itu.
“Dewa yang kedualah yang mengalahkan dewa pertama yang bengis.”
Aku tersenyum. Kubayangkan kehebatan dan kebaikannya menghancurkan dewa pertama. Tentulah dia yang baik yang akan menang seperti yang selalu ibuku katakan.
“Aku anak dewa kedua”, aku berharap.
Ibuku tersenyum lalu melanjutkan ceritanya, “Dewa yang kedua selalu memakan anaknya yang lahir.”
Aku melongo. Tak kusangka dia begitu kejamnya. Aku tak tahu lagi dewa yang mana yang disebut ayahku.
“Dewa yang ketiga mengalahkan dewa yang kedua yang kejam itu.”
Aku kembali berharap pada dewa yang ketiga. Berharap dia berbeda dengan yang lainnya.
“Apa dia membunuh anak-anaknya?” tanyaku.
Ibu menggelengkan kepalanya. Senyumku pun timbul. “Kuharap dialah ayahku, Bu.”
“Tapi dia pengkianat bagi perempuan.”
Aku kembali termenung. Pada siapa aku berharap mengakui dia ayahku. Aku meneteskan air mata lagi. Kini akulah yang menanggung karena ibu tidak juga menceritakan padaku, anak dewa yang manakah aku. Ibu hanya berpesan agar aku kukuh di atas kakiku. Lupakan dewa yang mana karena dewa terlalu tinggi tempatnya untuk diraih. Ada banyak arak dan musik yang membuatnya lupa.
“Aku paham Bu. Aku mengerti sekarang. Aku akan membunuh dewa ketiga.” Bisikku pada malam.
Hujan diluar seperti berdendang menyambut akan kelahiran dewa baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar