Matinya
Tiga Dewa
Langit
masih sangat gelap ketika aku terbangun untuk menilik jendela. Di atas langit
sana seperti ada yang murka. Halilintar menyambar begitu mengerikan. Dengan
tangan kanan kuelus dadaku sedikit menenangkannya. Kemudian merebahkan kembali
perut yang gendut. Mungkin karena angin tubuhku begini. Di dapur tak kutemui
daging ataupun ikan yang sewajarnya menambah lemak di perutku. Badanku yang
lain pun seperti tulang saja berbalut kulit yang kendur. Tak ada yang kusuka
selain mataku yang bening. Barang kali karena setiap hari rajin kucuci dengan
air yang tak perlu uang untuk membayar atau tenaga untuk menyiduknya. Mataku
yang tercinta masih terjaga dan terbuka. Aku mencucinya lagi. Nikmatnya, karena
masih ada air mata dan air hujan yang ramah dengan orang sepertiku. Kubiarkan
saja rembesan air hujan itu menyapu wajahku. Meluncur dari genting yang sedikit
retak. Terasa pula tangan anak-anak angin yang dingin. Masuk melalui lubang
pori-pori dan bergaul dengan darahku yang mendidih, barang kali karena takut.
Jaring
laba-laba mengingatkanku pada sosok ibu yang nyala matanya seperti tak pernah
gentar. Dia kuat seperti laba-laba. Membangun rumah berlindung dan tak ragu
meski mata musuh tengah menatapnya sinis. Seperti tidak kunjung puas dan lelah
tetap merajut. Aku mulai merindukan mata yang tegar itu. Mata yang pernah
menceritakan padaku tentang tiga dewa.
“Kau
percaya pada dewa?” tanyanya di tengah malam yang gelap. Cahaya samar-samar
yang dihasilkan dari sumbu yang terbakar membantuku menangkap bayangannya.
Aku
termenung mengingat sebuah nama itu, yah dewa.
“Jadi
kau percaya yah?”
Ibu
memiringkan badannya menghadap tubuhku yang tengah menatap sarang laba-laba.
Malam selalu sepi saat hujan tidak mampir. Tapi ibu selalu membenci hujan dan
petir. Karena petir pula yang membawa kabur ayah yang penakut.
“Apa
kau percaya jika kau adalah anak dewa.”
Kalimatnya
menjadi mengagumkan di telingaku. Mataku menatapnya sungguh-sungguh seperti
mencari kebenarannya. Anak dewa adalah hal yang baru kudengar sepanjang usiaku.
“Apa
aku pernah berbohong padamu?”
Aku
menggeleng.
“Dewa
pertama begitu kuatnya. Tapi dia kejam dan membuang setiap anak-anaknya yang
terlahir.”
Seketika
keningku mengerut. Begitu kejam dan mengerikan, pikirku saat itu.
“Dewa
yang kedualah yang mengalahkan dewa pertama yang bengis.”
Aku
tersenyum. Kubayangkan kehebatan dan kebaikannya menghancurkan dewa pertama.
Tentulah dia yang baik yang akan menang seperti yang selalu ibuku katakan.
“Aku
anak dewa kedua”, aku berharap.
Ibuku
tersenyum lalu melanjutkan ceritanya, “Dewa yang kedua selalu memakan anaknya
yang lahir.”
Aku
melongo. Tak kusangka dia begitu kejamnya. Aku tak tahu lagi dewa yang mana
yang disebut ayahku.
“Dewa
yang ketiga mengalahkan dewa yang kedua yang kejam itu.”
Aku
kembali berharap pada dewa yang ketiga. Berharap dia berbeda dengan yang
lainnya.
“Apa
dia membunuh anak-anaknya?” tanyaku.
Ibu
menggelengkan kepalanya. Senyumku pun timbul. “Kuharap dialah ayahku, Bu.”
“Tapi
dia pengkianat bagi perempuan.”
Aku
kembali termenung. Pada siapa aku berharap mengakui dia ayahku. Aku meneteskan
air mata lagi. Kini akulah yang menanggung karena ibu tidak juga menceritakan
padaku, anak dewa yang manakah aku. Ibu hanya berpesan agar aku kukuh di atas
kakiku. Lupakan dewa yang mana karena dewa terlalu tinggi tempatnya untuk
diraih. Ada banyak arak dan musik yang membuatnya lupa.
“Aku
paham Bu. Aku mengerti sekarang. Aku akan membunuh dewa ketiga.” Bisikku pada
malam.
Hujan
diluar seperti berdendang menyambut akan kelahiran dewa baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar