Pernah nggak sih kalian tertegun sampai kening berlipat-lipat karena ucapan dan tindakan seseorang berseberangan. Barang kali bukan cuma mendapati tetapi melakukan yah? Ya ya saya juga pasti tanpa sadar adalah pelakunya. Hihihiii... Yang penting kita mau belajar ya kan.
Suatu ketika saya dan beberapa kawan sedang mengantre di loket kampus, sayang sudah lupa mau ngapain. Intinya itu loket cuma ada dua yang antre ratusan mahasiswa dan lebih gregetnya lagi petugasnya tidak pakai pengeras suara. Jadi ribut sendiri-sendiri. Hahahaa, beginilah contoh pelayanan kampus saat kurang matang persiapannya. Dari pagi sampai siang kita antre sambil ngerumpi. Nggak mahasiswa banget yah? Antre ko sambil ngerumpi harusnya kan sambil baca buku yang tebelnya kiloan kan efisiensi. Di tengah-tengah kepengapan mengantre itu, kan agak merapat-rapat tuh barisannya terus ada orang yang nyletuk dengan muka angker (mungkin dia habis ke salon ghaib). Dia marah-marah, kurang lebih dia bilang, "sabar dong!" Liat-liatan lah kita semua, ini orang kenapa? Yang nggak sabar siapa yah? Kayanya semua orang sabar-sabar aja malah dia yang nggak sabar. Nah kan? Dari satu cerita yang mewakili sejumlah peristiwa nyata yang terjadi (nggak mungkin diceritain satu-satu lah ya capek), kesimpulannya adalah sering kali kritik yang kita tudingkan ke orang lain adalah kritik untuk diri kita sendiri. Dan saya adalah salah seorang yang kemudian mengambil kesimpulan lebih dalam lagi bahwa sikap ini sudah merasuk ke banyak sekali orang termasuk barang kali politisi. Jadi ketika seseorang mengatakan sebuah nasihat atau kritik pada orang lain sebenarnya dia sedang melakukannya untuk dirinya sendiri. Orang mendapat konklusi dari pengalamannya sendiri yang sadar atau tidak, alam bawah sadarnya mencatat. Tentu saja, dia kemudian menjadi pengetahuan yang membekas di otaknya, dan menjadi dasar saat seseorang memikirkan masalah yang relevan. See?
Ini kritik buat diri saya sendiri juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar