Kali Jaga merupakan julukan bagi Raden Sahid, seorang putra adipati Tuban pada zaman Majapahit. Tuban sendiri takluk di bawah Majapahit. Raden Sahid dibesarkan dalam keluarga yang telah memeluk agama Islam. Sejak kecil dia sudah belajar ilmu agama dan ilmu bela diri termasuk ajian-ajian kesaktian. Raden Sahid atau Raden Said hidup pada zaman Majapahit tengah menghadapi konflik dengan Kediri yang ingin lepas dari Majapahit.
Ayah Raden Sahid, Tumenggung Wilatikta merupakan salah satu Tumenggung yang sangat patuh pada Raja Majapahit yang bergelar Prabu Brawijaya V. Disebabkan oleh konflik dengan Kediri yang berlangsung sengit dan lama, akhirnya raja Majapahit memutuskan menaikkan upeti untuk membiayai perang. Adipati Tuban termasuk salah satu yang mendukung keputusan tersebut tapi di satu sisi keputusan itu memberatkan rakyat Tuban yang memang sedang mengalami masa paceklik. Rakyat yang hidupnya sudah sengsara menjadi semakin lebih sengsara lagi karena harus membayar pajak lebih dari sebelumnya. Banyak yang rakyat yang tidak bisa makan setiap hari bahkan tidak jarang pula yang mati kelaparan.
Melihat kondisi miris tersebut, pangeran Tuban (raden Sahid) yang memang berkarakter peduli pada sesama pun tergerak hatinya untuk membantu. Lalu disusunlah rencana untuk meringankan beban rakyat Tuban. Raden Sahid menyelinap keluar Istana di malam hari dan mencuri makanan di gudang kerajaannya sendiri. Gudang itu sebenarnya bukan lah tanpa penjagaan tetapi Raden Sahid menggunakan ajian pembuat kantuk untuk melancarkan aksinya. Hasil curiannya itu dia bagi-bagikan kepada rakyat yang benar-benar membutuhkan. Beberapa kali Raden sahid berhasil menjalankan aksi mencurinya hingga suatu ketika para penjaga yang sudah diultimatum sang adipati pun membuat siasat jebakan hingga akhirnya Raden Sahid tertangkap.
Setelah tertangkap raden Sahid pun dihukum oleh ayahnya. Paska kejadian tersebut, Raden Sahid tidak dapat menjadi "robinhood" lagi untuk rakyatnya. Tapi bukan Raden Sahid jika menyerah sampai di situ. Dengan tekad bulat Raden Sahid meminta restu kedua orang tuanya untuk merantau mencari ilmu dan pengalaman. Berkat usahanya yang gigih untuk mendapat restu, dia pun diizinkan mengembara. Raden Sahid lalu pergi menjelajah Tuban. Selama mengembara itu dia banyak melakukan revolusi mental para pejabat-pejabat Tuban yang rupanya melakukan korupsi dengan memanfaatkan situasi konflik. Dengan sesuka hati kebanyakan pejabat menaikkan pajak lebih dari yang diatur oleh Tumenggung Wilatikta dan mengumpulkannya untuk memperkaya dirinya sendiri. Selain itu, Raden Sahid juga memberantas para lintah darat dan perampok. Dalam menjalankan aksinya tersebut Raden Sahid menggunakan kekuatan dan posisinya sebagai pangeran Tuban untuk mengancam musuh-musuhnya. Saat menjalankan aksinya merampok perampok dan orang kaya yang kikir, Raden Sahid menggunakan topeng dan pakaian serba hitam. Salah satu musuh yang dikalahkannya adalah Ki Sumo.
Alkisah, Ki Sumo yang merasa dendam dengan perampok bertopeng hitam itu pun berniat balas dendam. Diam-diam, Ki Sumo dan para pengikutnya mencari tahu identitas Raden sahid hingga setelah dia berhasil mengetahuinya dia pun menfitnah sang pangeran Tuban. Ki Sumo dengan menggunakan atribut topeng dan pakaian serba hitam menyerupai Raden sahid memerkosa seorang janda di desa dimana sang pangeran tengah beraksi. Pangeran Tuban yang mendengar suara jeritan pun mendatangi rumah sang janda dan disusul prajurit Tuban yang juga mendengarnya. Saat itulah janda tersebut mengadu bahwa pangeran Sahid yang memerkosanya dikarenakan busana yang dia pakai. Malang, Raden Sahid pun harus menerima hukumannya. Adipati Wilatikta yang naik pitam mengusir putranya sendiri dari Tuban dan hanya jika pangeran Sahid dapat menggetarkan tempok rumahnya dengan bacaan ayat Alqurannya dia baru yakin Raden Sahid tidak bersalah.
Raden Sahid pun pergi mengembara dengan tetap menjalankan aksinya sebagai "pencuri baik" sampai dia bertemu dengan Sunan Bonang yang menunjukkan keajaiban mengubah daun menjadi emas. Melihat keajaiban itu, Raden Sahid pun meminta diri menjadi muridnya. Sunan Bonang setuju dengan syarta Raden Sahid harus menjaga tongkat Sunan Bonang dipinggir kali sampai dia kembali. Raden Sahid menyetujuinya.
Setelah meninggalkan raden Sahid, Sunan Bonang kembali sibuk dengan urusan dakwah dan serangan Prabu Girindrawardana ke Majapahit. Sunan Bonang bersama dengan sunan yang lainnya bekerjasama dengan anak dari Raja Majapahit, raja Demak Bintara yang bernama Jimbun atau dikenal dengan nama Raden Patah. Sebagai seorang anak sekaligus perintis kerajaan islam pertama di Jawa, Raden Patah tentu sangat didukung dan mendukung keberadaan para wali. Setelah empat puluh hari lamanya meninggalkan Raden Sahid, barulah Sunan Bonang teringat. Dia pun mendatangi Raden Sahid dan menerimanya menjadi murid. Selama Raden Sahid menjalani tapanya (amanah) menjaga tongkat di pinggir kali, Raden Sahid dikenal masyarakat dengan nama Kali Jaga karena tindakannya seperti orang yang menjaga kali. Sunan Bonang yang melihat kesungguhan Raden Sahid pun tersentuh hatinya dan akhirnya menerima Raden Sahid sebagai muridnya. Sejak saat itu, Raden Sahid ikut aktif membantu Raden Patah dalam strategi politik karena sunan Kalijaga memang sudah dibekali ilmu tata negara dan yang lainnya yang dibutuhkan untuk mengatur kerajaan.
Kecerdasan sunan Kalijaga tersebut membuat Raden Patah percaya padanya dan memilihnya menjadi salah satu penasihat kerajaan. Suatu hari dalam sebuah pertemuan, Raden Patah menceritakan keberhasilan putra adipati Tuban pada ayahnya maka banggalah hati ayahnya terlebih Raden Sahid pun pernah menggetarkan tembok rumahnya dengan bacaan ayat-ayat alqur'an. Sejak itu, ayah dan ibu Raden Sahid percaya bahwa putranya tidak bersalah terlebih Ki Sumo yang saat tertangkap menggunakan atribut topeng dan baju hitam mengakui bahwa dirinya lah pemerkosanya bukan sang pangeran. Hubungan anak dan orang tua itu pun kembali baik di tengah kegentingan konflik Majapahit dan Kediri yang terus berlangsung. Puncaknya, Raja Majapahit memilih untuk meninggalkan kerajaannya dan pergi ke gunung untuk moksa sebagai ritual menjemput kematian sesuai ajaran hindhu yang dia yakini.
Akhirnya, sunan Kalijaga didukung sunan lainnya mendorong Raden Patah untuk menyatakan demak Bintara sebagai kerajaan independen, bukan dibawah kuasa Majapahit sebab jika tidak dan Majapahit dikalahkan Kediri maka Demak Bintara akan dibawah kuasa Kediri yang notabenenya adalah kerajaan hindu seperti majapahit. Bedanya, Raja Majaphit masih memiliki hubungan darah dengan raja Demak Bintara sehingga tidak berpotensi menghalangi proses dakwah agama Islam tetapi lain halnya jika Demak Bintara di bawah kendali Kediri. Demikianlah sejak menjad murid Sunan Bonang, Sunan Kalijaga mengabdikan diri menjadi pendakwah Islam sekaligus pejabat di Demak Bintara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar