Laman

Sabtu, 24 Januari 2015

cerpen : bebas

Bebas. Barang paling mahal di dunia. Damn! Aku iri pada laba-laba yang bebas dalam sibuk menyulam jaring. Aku iri pada udara yang bebas hilir mudik, menari tanpa ada kata henti. Aku iri. Dunia ini adalah kurungan dan kurungan itu penjara lalu apa nama lain penjara kalau bukan neraka. Bebas! Jiwa mudaku menuntut bebas. Ketika seolah tak ketemui kebebasan itu maka darahku marah memberontak pada otak yang lamban. Bergegas! Apa harus menunggu senja yang sesal baru kau tangisi hangatnya surya yang disiakan? Dan aku, masih duduk menatap pantai dengan berlembar-lembar kertas tak berpenghuni. Penaku mati! Ada apa dibalik lauitan yang ombaknya berisik, memamerkan dan menawarkan jamu jemu. Seolah, lidah airnya menjulur menggumamkan sebuah janji setia dan petualangan. Dan udara yang menerpa wajahku berkali-kali, sebanyak kali itu merayuku. Terlebih buih di bibir pantai yang menandakan dia, sang laut sudah terlalu banyak bicara tapi tak puas juga dia meracau. Wajar saja! Lautan adalah guru yang akan terus meneriaki setiap telinga manusia yang baginya selalu saja bocah. Eih, aku melihat yang bergerak. Mungil nian tubuhnya. Itu yuyu rupanya. Berlarian membentuk bekas. Aku kembali merasa iri. Dan rambut ikalku  menyapu mataku, dia memaksaku bangun dari perdebatan lingkaran setan antara hati dan si otak.
Begitu saja aku teringat dongeng itu, dongeng yang membuatku merindukan deburan ombak tengah laut. Baru kutahu belakangan itu hanya dongeng fiktif dari seorang perempuan tua yang sudah menjemput ketenangan abadi. Sungguh baru kutahu, dulu kupikir itu nyata. Dengan matanya yang menyiratkan kejujuran dia melukiskan lautan luas di dalam kanvas hati seorang bocah. Begitu jelas terlihat dan tak mungkin terhapus. Seorang lelaki gagah yang pergi mengarungi lautan saat langit hampir memerah. Hanya berbekal perahu kecil lengkap dengan jaring dan satu box berwarna ikan, juga sepinggan nasi sambal terasi. Seorang pelaut ulung hendak bertarung dengan ganasnya lautan. Sejatinya dia sudah terbiasa dengan tabiat laut, seperti sudah hafal luar dalamnya. Tapi lautan itu seperti guru! Saat dia yakin si bocah sudah paham, mana mungkin belajar dianggap selesai. Tidak! Sang guru sudah menyiapkan pelajaran baru untuk murid kebanggaannya. Langit pun mendadak mendung, barang kali mereka (red : laut dan langit) sudah sepakat. Awalnya gerimis, lama-lama diuji benar si pelaut dengan gempuran tetes hujan. Di sana sini hanya terdengar suara bising air hujan yang disambut gelombang yang semakin bersemangat berdebur. Semakin lama, semakin tinggi saja tarian ombak. Perahu kecilnya terombang-ambing, mengocok kasar seisi perahu. Kilat menjalar saling bersambut. Menambah ciut hati. Susah payah si pelaut mengendalikan perahunya. Di sana ada wajah istrinya yang sendiri di rumah menunggu dalam cemas. Diam-diam air matanya leleh bersama doa lirih yang terucap begitu saja. Dia terus berpegang, tak dirasa kucuran darah dari kulit yang diadu dengan tambang. Belum juga berhasil, sang guru sudah menjejalkan pertanyaan teramat sulit. Tak jauh dari perahunya yang kocar-kacir tampak pusaran air laut. Persis topan. Buru-buru dia berjuang membalikkan arah perahunya tapi angin menghadang. Sekeras mungkin diterpanya perahu kayu yang seolah tak diizinkannya memiliki harapan. Dan kali ini wajah istrinya yang meringkuk menahan sakit semakin merontokkan sendinya. Pada detik itu, dia tak jua menyerah. Si pelaut masih berdiri kokoh meski terhempas juga dia akhirnya ke dalam pusaran. Laut seolah memeluknya dan mengatakan bahwa dia aman bagai dalam pelukan  ibu. Entah berapa banyak air yang tertelan, di dalam lubang topan itu dia terpelanting ke sana kemari tapi lama dia mulai menikmati setiap kali air menendangnya.
Mataku ikut terpejam. Seolah akulah si pelaut itu. Pelaut yang selamat entah dengan cara apa. Dia mengapung di tengah lautan dan terik matahari membangunkannya. Perahunya masih utuh, bergoyang mengikuti arah gelombang. Begitu gagah tampaknya si perahu, lebih gagah dari biasanya. Padahal rasanya semalam sudah remuk. Dengan sisa tenaga, si pelaut berhasil mencapai perahunya. Tangisnya pecah. Syukurnya menjatuhkannya dalam sujud. Dia merasa menjadi manusia baru. Cahaya cintaNya seolah berbinar-binar teramat terang.
Aku tersenyum kecil. Cerita usang itu membuat hatiku ingin bebas, bebas untuk menceburkan diri ke tengah lautan untuk mengerti deburan cahaya kasihNya. Segera aku bangkit dan berlarian menyambut air laut. Kertas itu sudah tidak lagi kosong. Air laut dan tanah sudah menghuninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar